Rabu 26 Aug 2020 10:31 WIB

Riset Baru Sebut Pedoman Jaga Jarak Sudah Ketinggalan Zaman

Bukti menunjukkan virus corona dapat melakukan perjalanan lebih dari dua meter

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Dwi Murdaningsih
Sejumlah siswa berjalan dengan menerapkan jaga jarak saat simulasi kegiatan belajar di sekolah di SMPN 1 Pontianak, Kalimantan Barat, Jumat (7/8/2020). Simulasi yang dilakukan guru dan pegawai sekolah dengan menerapkan protokol kesehatan tersebut merupakan salah satu persiapan untuk mengadakan kegiatan belajar tatap muka yang sehat serta bebas COVID-19.
Foto: Antara/Jessica Helena Wuysang
Sejumlah siswa berjalan dengan menerapkan jaga jarak saat simulasi kegiatan belajar di sekolah di SMPN 1 Pontianak, Kalimantan Barat, Jumat (7/8/2020). Simulasi yang dilakukan guru dan pegawai sekolah dengan menerapkan protokol kesehatan tersebut merupakan salah satu persiapan untuk mengadakan kegiatan belajar tatap muka yang sehat serta bebas COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Ilmuwan Inggris menyebut pedoman jaga jarak sejauh dua meter untuk membatasi penyebaran didasarkan pada "ilmu pengetahuan kuno". Sekelompok ilmuwan Inggris mengatakan jarak seharusnya tidak menjadi titik fokus tindakan yang dirancang untuk membatasi penyebaran virus.

Menurut mereka, sistem satu ukuran untuk semua harus diganti dengan rekomendasi bertingkat untuk lokasi yang berbeda. Pemerintah Inggris, seperti di banyak negara lain, merekomendasikan orang harus tetap berada dua meter atau satu meter jika faktor yang meringankan seperti masker digunakan.

Baca Juga

Para peneliti yang menulis di British Medical Journal (BMJ) mengatakan bahwa pedoman yang lebih fleksibel akan memungkinkan kembali ke normalitas dalam beberapa aspek kehidupan sosial dan ekonomi.

"Aturan saat ini tentang jarak fisik yang aman didasarkan pada sains yang sudah ketinggalan zaman," tulis Nicholas Jones, dari Departemen Perawatan Primer Nuffield Universitas Oxford, dilansir di Independent, Rabu (26/8).

Mereka menambahkan bahwa distribusi partikel virus dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk aliran udara. Bukti menunjukkan Sars-CoV-2 dapat melakukan perjalanan lebih dari dua meter melalui aktivitas seperti batuk dan berteriak.

Sebaliknya, kelompok tersebut menyarankan agar pemerintah mendasarkan pedomannya pada beberapa faktor yang memengaruhi risiko, termasuk jenis aktivitas, pengaturan dalam ruangan versus luar ruangan, tingkat ventilasi dan apakah masker dikenakan.

Durasi paparan, kerentanan seseorang terhadap infeksi dan viral load penular juga harus dipertimbangkan.

"Aturan tentang jarak harus mencerminkan beberapa faktor yang mempengaruhi risiko, termasuk ventilasi, hunian, dan waktu eksposur," tambah para peneliti.

Mereka menulis bahwa beberapa penelitian yang digunakan untuk membenarkan jarak 2 meter pertama kali diterbitkan pada tahun 1897. Sementara penelitian dari tahun 1940-an mengakar dalam asumsi dasar ilmiah tentang aturan satu hingga dua meter untuk mencegah penyebaran virus corona, meskipun ada keterbatasan dalam akurasi dari studi awal.

Studi yang lebih baru telah menemukan bahwa dalam keadaan tertentu, percikan dari bersin atau batuk yang kuat dapat menyebar hingga delapan meter. Kelompok tersebut berpendapat bahwa sebagian besar penelitian didasarkan pada ukuran percikan tanpa memperhitungkan udara yang dihembuskan.

Para penulis menambahkan bahwa kebijakan harus menyesuaikan dengan kerumitan cara kerja penularan virus. "Jarak fisik harus dilihat hanya sebagai satu bagian dari pendekatan kesehatan masyarakat yang lebih luas untuk mengatasi pandemi Covid-19," tulis mereka.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement