Senin 07 Sep 2020 09:23 WIB

Denyut Sastra Kaum Sarungan

Buku ini mengupas riwayat dan aktivitas kesusastraan sebuah pesantren besar di Madura

Red: Karta Raharja Ucu
Buku Sastrawan Santri
Foto:

Bagaimanapun, istilah sastra pesantren memang diakui baru mulai naik daun sejak era Reformasi, khu susnya masa pemerintahan presiden keempat RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Badrus mengatakan, pada masa itu secara hampir bersamaan muncul pula wacana- wacana terma sastra lainnya yang serumpun, seperti sastra profetik (digagas sastrawan cum sejarawan Prof Kuntowijoyo), sastra Qurani (disuarakan Ahmadun Yosi Her fanda), atau sastra kitab (dipopulerkan Abdul Hadi WM).

Keberadaan berbagai komunitas yang berupaya mempertemukan sastra dengan (dakwah) Islam juga turut memperkaya wacana pada masa itu. Ambil contoh, Forum Lingkar Pena (FLP) besutan cerpenis Helvy Tiana Rosa dan kawan-kawan.

Sejak saat itu, usaha-usaha untuk mendefinisikan sastra pesantren kian kentara. Namun, lanjut Badrus, hingga kini belum ada definisi yang permanen atau diterima semua kalangan untuk istilah sastra pesantren.

Ada yang begitu ketat membuat kategori sastra pesantren sebagai sastra yang harus digubah oleh santri yang mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Ada yang cukup longgar dengan memasukkan karya-karya buatan non-santri atau non-alum nus pesantren ke dalam klasifikasi demikian, selama bermuatan tema religiuisitas Islam.

Lebih jauh lagi, beberapa kalangan berkeyakinan, adanya terminologi sastra pesantren justru mempersempit universalitas makna sastra yang semestinya bebas dari suatu identitas. Sebagai peneliti antropologi, Badrus mengaku tidak ingin larut dalam perdebatan seputar batasan-batasan sastra pesantren.

Ia hendak me nyerahkan sepenuhnya persoalan tersebut pada kalangan ilmuwan sastra dan kritikus sastra. Melalui buku Sastrawan Santri, ia membatasi pembahasan pada berbagai tafsiran atas data yang diperolehnya selama riset di lapangan, yakni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura, Jawa Timur.

Dengan refleksi-refleksi atas perilaku para santri dengan sastra, lalu menggalinya melalui teori, sebagaimana sebuah usaha mensketsakan sastra pesantren dalam sajian buku etnografi, kata dia (hlm xiv).

Pesantren Annuqayah sendiri telah menghasilkan sejumlah penulis kaliber nasional, setidaknya sejak 1990-an. Sebut saja M Faizi, Syafii Anton, Muhammad Al-Fayyadl, dan Aryadi Mellas.

Bagaimanapun, sejak awal pembentukannya pondok pesantren itu tidaklah bertujuan tunggal untuk men cetak para penulis. Lebih tepatnya, ekosistem yang me num buhsuburkan semangat para penulis merupakan dampak positif dari sistem pembelajaran yang berlaku di sana.

Pesantren Annuqayah berdiri sejak akhir abad ke-19. Pendirinya bernama KH Muhammad Syarqawi. Sebelumnya, ulama asal Kudus, Jawa Tengah, itu telah menuntut ilmu-ilmu agama hingga ke Tanah Suci.

Annuqayah dipilihnya sebagai nama lembaga yang dirintisnya itu berdasarkan judul kitab Imam Jalaludin as-Suyuthi, Itmanuddriyah Lilqurra' Annuqayyah (hlm 24). Lebih dari satu abad usia lembaga itu kini. Cakupan Yayasan Annuqayah tidak hanya pesantren, tetapi juga taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.

Berseminya sastra di sana tak lepas dari keteladanan yang ada sejak generasi kedua pengasuh Pesantren Annuqayah. Mereka meninggalkan legasi berupa karya-karya tulis. Dalam beberapa tahun belakangan, pihak pengelola lembaga tersebut juga terus mendukung perkembangan budaya literasi di kalangan santri.

Misalnya, dengan menyelenggarakan Festival Cinta Buku (FCB), yang diinisiasi pihak Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Ilmu Keis laman Annuqayah (Instika). Panitia biasanya mendatangkan sejumlah penulis tersohor untuk dapat berinteraksi dengan para santri. Dengan demikian, para peserta didik diharapkan kian termotivasi untuk terus mengasah keterampilan dalam menulis dan menghasilkan karya.

Akhirnya buku karya Badrus Shaleh ini dapat menjadi acuan untuk mengamati gairah kesusas traan di dunia santri kontemporer. Dari penelitiannya, pembaca dapat me nemukan, tradisi literasi masih ber degup kencang di tengah komunitas kaum sarungan. Dan, mereka sama sekali tak bisa dipandang sebelah mata.

"Berseminya sastra di sana tak lepas dari keteladanan yang ada sejak generasi kedua pengasuh Pesantren Annuqayah."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement