REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nur Aini*
Penerbangan ke Moskow dari Kota Tomsk, Siberia pada 20 Agustus 2020 jadi tragedi bagi pemimpin oposisi Rusia, Alexei Navalny. Dia pingsan setelah minum teh yang diduga telah dicampur dengan racun saraf, Novichok di sebuah kafe bandara sebelum terbang. Penggunaan racun sebagai senjata untuk membunuh kritikus itu bukan satu-satunya, Indonesia juga pernah mengalaminya. Tragedi itu menyiratkan sinyal kepada siapa keberpihakan kita harus ditujukan.
Navalny bukan orang sembarangan. Dia adalah pengacara dan aktivis anti-korupsi yang kerap memimpin protes terhadap penguasa Rusia. Dia juga dikenal sebagai kritikus utama pemerintahan Presiden Rusia, Vladimir Putin. Kremlin menjuluki Navalny sebagai musuh karena dia menginvestigasi korupsi di tubuh pemerintahan. Dia menjadi sasaran penangkapan dan penahanan pada 2012 dan 2014 yang diduga bermotif politik. Beberapa tahun terakhir, Navalny keluar masuk penjara karena mengorganisir protes anti-Kremlin. Dia juga dilarang mencalonkan diri jadi presiden Rusia pada 2018.
Saat Navalny pingsan dan berujung kondisi koma di rumah sakit, dunia langsung curiga. Jerman, yang kini jadi ketua Uni Eropa menuntut Rusia menjelaskan upaya peracunan Navalny. Jerman sebelumnya meminta Navalny untuk dipindah dari rumah sakit di Siberia ke Berlin. Atas desakan Jerman itu, Kremlin membantah rumor keterlibatan pemerintahan Presiden Vladimir Putin dalam kasus peracunan Navalny.
Namun, hasil pemeriksaan dokter di Berlin, Jerman mengindikasikan Rusia terlibat dalam upaya pembunuhan Navalny. Pemeriksaan itu menyebut racun yang ditemukan di tubuh Navalny merupakan agen saraf Novichok, yang digunakan saat era Uni Soviet. Novichok sebelumnya dipakai untuk meracuni agen mata-mata Rusia, Sergei Skripal dan putrinya di kota Salisbury, Inggris pada 2018. Racun Novichok sangat berbahaya, bahkan diklaim 5-8 kali lebih mematikan dibandingkan VX, racun saraf yang dipakai untuk membunuh saudara pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, Kim Jong-nam di Malaysia pada 13 Februari 2017. Racun Novichok mampu bereaksi sangat cepat, dalam hitungan 30 detik hingga 2 menit saja dapat berakibat fatal.
Laporan New York Times baru-baru ini menyebut racun telah lama menjadi senjata intelijen Rusia dan tetap digunakan hingga kini. Bahkan, Navalny bukan orang pertama yang diracun dalam penerbangan. Pada 2015, aktivis oposisi Rusia, Vladimir Kara-Murza diyakini diracun dalam penerbangan Aeroflot yang membuatnya jatuh koma. Kara-Murza juga mengaku diracuni kembali pada 2017 tetapi mampu selamat. Selain itu, jurnalis oposisi Anna Politkovzkaya juga diracun dalam penerbangan domestik Rusia, Karat melalui segelas teh. Dia selamat tetapi dua tahun kemudian mati ditembak di apartemennya.
Pembunuhan dengan racun dalam penerbangan mengingatkan peristiwa yang menimpa Munir Said Thalib, aktivis dan pejuang hak asasi manusia (HAM) pada 7 September 2004. Dia meninggal dunia saat terbang dengan pesawat domestik, Garuda Indonesia dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda. Dia diracun di udara. Racun arsenik ditemukan di dalam tubuh Munir.
Upaya pembunuhan terhadap para aktivis dan kritikus itu memiliki kesamaan yaitu penguasa negara membantah terlibat. Dalang di balik pembunuhan mereka tidak pernah terungkap. Dengan rekam jejak para aktivis yang menentang kesewenang-wenangan kekuasaan, publik berhak curiga siapa yang berkepentingan atas pembunuhannya. Pembunuhan itu adalah upaya untuk membungkam kritik yang mempertanyakan dan mengganggu status quo kekuasaan. Upaya itu tidak akan mencapai tujuannya jika lahir kembali Navalny dan Munir lain yang berani menyuarakan kritik serupa. Mereka akan lahir dan berlipat ganda jumlahnya karena publik jadi tahu, pembunuhan itu adalah petunjuk kepada siapa keberpihakan kebenaran harus ditujukan.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id