Ahad 27 Sep 2020 14:09 WIB

Sarung dan Kupluk Pun Pernah Dicap Komunis

Sarung dan kupluk pernah diasosiasikan sebagai simbol komunis.

Pekerja melipat kain tenun yang dibuat menggunakan teknik Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) di Pekalongan, Jawa Tengah, Kamis (1/6). Kain tenun yang dibuat untuk bahan sarung tersebut dijual Rp9000-Rp70.000 per meter dan dipasarkan hingga ke Pulau Sumatra.
Foto: Harviyan Perdana Putra/Antara
Pekerja melipat kain tenun yang dibuat menggunakan teknik Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) di Pekalongan, Jawa Tengah, Kamis (1/6). Kain tenun yang dibuat untuk bahan sarung tersebut dijual Rp9000-Rp70.000 per meter dan dipasarkan hingga ke Pulau Sumatra.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar

Kremlin menghormatinya dengan kewarganegaraan Rusia. Dia fasih berbahasa Rusia dan Cina. Dia terbiasa menciptakan kolam pemancingan berair keruh, tempat ia mengambil keuntungan.

"Di mana kekacauan melanda, kerumunan dengan mudah menjadi komunis,” tulis Nieuw Nederland, 25 Mei 1948, memuji keahlian Alimin.

Gayanya santun khas Jawa, jika berbicara malu-malu dan takut-takut, tetapi kata-katanya berapi-api. Pada 4 Juni 1946, ia berbicara lima jam tentang perkembangan komunisme. Ia mendukung republik dengan slogan tiruan dari Moskow “Merdeka 100 Persen”.

Sandal Alimin juga sudah setengah aus. Bajunya tidak diseterika. Kancing baju tak semua dikancingkan. Sarungnya juga sudah ditambal. Amir Syarifuddin juga mengenakan sarung saat ditangkap di Klambu, Grobogan, pada 29 November 1948, karena pemberontakan PKI di Madiun.

Sarung (dan juga kupluk) pernah diasosiasikan sebagai simbol komunis. Hal itu terjadi setelah banyak beredar sarung cap palu arit dan bintang bulan sabit. Palu arit merupakan logo Partai Komunis Indonesia (PKI), sedangkan bintang bulan sabit sebagai logo Sarekat Rakyat, pecahan dari Sarekat Islam (SI) setelah SI melarang rangkap keanggotaan. Anggota Sarekat Islam yang juga anggota PKI kemudian memisahkan diri dan membentuk Sarekat Rakyat.

Sarung ini sudah beredar pada 1926. Di majalah komunis Mowo yang terbit di Solo ada iklan besar toko batik milik HM Ngoeman yang menjual sarung batik palu arit seharga 26 gulden per kodi. Ini masih di bulan April 1926. Pada Oktober 1926, sarung-sarung itu sudah dijual pula di Sumatra.

Pada Oktober itu, polisi menyita 160 sarung batik palu arit dari enam pedagang di Padang. Penyitaan dilakukan setelah polisi mendapati seorang perempuan mengenakan sarung itu. Perempuan itu membelinya seharga 1,4 gulden di Kampung Jawa. Murah, karena harga pasaran sarung dua gulden per lembar.

Berdasarkan informasi inilah polisi mendatangi rumah-rumah pedagang di Padang untuk menyitanya. Penyitaan juga dilakukan di Pasar Gadang, karena dari sinilah para pedagang kecil mendapatkan sarung. Dua pemasok sarung mengaku mendapat kiriman dari Solo.

Polisi mendapati sarung ini dipesan pada Juli, namun hingga Oktober hanya terjual 15 sarung. Di pantai timur Sumatra, polisi juga menyita sarung-sarung jenis ini.

Pada suatu malam di Januari 1927 ada 100 remaja di pintu masuk terowongan rel kereta api dekat Muaro Kalaban mengenakan sarung dan kupluk. Di jembatan di atasnya ada pula beberapa remaja dengan sarung dan kupluk pula. Asisten Residen Tanah Datar Karsen mencurigai mereka, karena tak biasanya anak-anak remaja bercengkerama malam hari di jembatan itu. Karsen segera mendekati mereka dan berbincang dalam bahasa Melayu. Dapat informasi mereka akan membakar dua gudang dinamit.

Karsen segera menodongkan revolvernya dan meniup peluit memanggil pasukan yang siaga. Para remaja itu kemudian dibawa ke Sawahlunto. Rupanya mereka anak-anak muda komunis. Sebelumnya pembakaran telah terjadi di Padang.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement