REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) optimistis teknologi rekapitulasi penghitungan suara elektronik atau rekap-el dapat diterapkan pada pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020. Namun, KPU masih memikirkan skenario penggunaan e-rekap di daerah yang terkendala jaringan internet.
"Mudah-mudahan nanti kita punya solusi yang lebih bisa diterapkan di daerah-daerah yang kesulitan jaringan tersebut," ujar Komisioner KPU RI, Evi Novida Ginting Manik saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (9/10).
Ia menyebutkan, ada data yang menyatakan hampir 13 ribu desa di Indonesia tidak ada akses internet. Akan tetapi, KPU akan mengidentifikasi 13 ribu desa itu, apakah berada di 270 daerah yang melaksanakan Pilkada 2020 atau tidak.
Apabila desa-desa itu memang termasuk wilayah yang menggelar pilkada, maka KPU akan menyiapkan langkah-langkah agar memudahkan petugas menggunakan rekap-el. Dalam penerapan rekap-el, petugas Kelompok Penyelengara Pemungutan Suara (KPPS) harus mengirimkan foto formulir C.KWK yang berisi data perolehan suara pasangan calon melalui aplikasi e-rekap.
Menurut Evi, alternatif jika di tempat pemungutan suara (TPS) tersebut tidak ada sinyal internet, maka pengiriman potret formulir C.KWK dapat dilakukan di tingkat desa/kelurahan, kecamatan, atau wilayah terdekat yang memiliki jaringan internet. Ia meyakini, tidak semua wilayah di desa tersebut sulit akses internet.
"Di akhir tahun 2019 di awal tahun 2020, kami itu sudah mengumpulkan pemetaan dari teman-teman daerah yang pilkada untuk memetakan posisi sinyal atau jaringan di masing-masing daerahnya, ada yang lemah, kuat, sedang," kata Evi.
Selain itu, ia sudah meminta KPU daerah bekerja sama dengan penyedia jasa internet atau provider yang ada. Hal itu guna memperkuat jaringan di wilayah masing-masing yang menggelar pilkada.
Evi menjelaskan, potret formulir C.KWK dikirimkan KPPS di tiap-tiap TPS ke server e-rekap KPU kabupaten/kota. Di TPS, ada proses penentuan sesuai atau tidak sesuai atas data yang dikirimkan tersebut, oleh KPPS bersama pengawas dan para saksi pasangan calon.
Jika terjadi kesalahan, maka akan ditandai kesalahan tersebut. Kemudian, proses keberatan dilakukan saat rekapitulasi di kabupaten/kota. Keberatan bisa juga dilakukan di tingkat kecamatan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).
Namun, data yang digunakan dalam proses keberatan tersebut berasal dari hasil rekap-el. Evi memastikan, tidak ada lagi petugas yang membawa formulir C1.KWK atau salinan, yang sering sekali datanya berbeda dengan formulir C.KWK.
Dengan demikian, kata dia, rekapitulasi elektronik tidak hanya menjadi data publikasi melalui Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap), melainkan sebagai bagian dari proses penghitungan perolehan suara. KPU masih mempertimbangkan ketentuan rekapitulasi berjenjang, bedanya rekapitulasi tersebut berdasarkan data digital hasil rekap-el bukan kertas.
"Jadi dia ada dua proses yang akan kita lakukan. Pertama digunakan untuk proses rekapitulasi, yang satu adalah sebagai untuk proses publikasi," tutur Evi.
Sementara itu, Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Abhan mengatakan, secara riil, rekap-el tidak bisa diterapkan di seluruh wilayah di 270 daerah yang menggelar pilkada. Sehingga, memungkinkan rekapitulasi masih dilakukan secara konvensional. Maka, ia mempertanyakan pengaturan hukum terhadap daerah yang tidak menerapkan rekap-el itu.
"Kami kira ini yang tentu harus disinkronkan dari sisi hukumnya, kenapa harus ada perbedaan dan sebagainya," ujar Abhan dalam diskusi daring bertema Untung Rugi E-Rekap, Kamis (8/10).
Selain itu, ia juga meminta KPU mengatur mekanisme pengaduan seandainya terjadi perselisihan antara data e-rekap dan data formulir C.KWK di TPS. Dengan demikian, laporan kesalahan rekap-el dapat ditindaklanjuti oleh jajaran Bawaslu.
Di sisi lain, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) merekomendasikan rekap-el tidak diterapkan secara resmi pada Pilkada 2020 mengingat waktu pemungutan suara hanya dua bulan lagi. Sedangkan KPU dinilai belum siap atas penerapan rekap-el dari semua aspek. Mulai dari regulasi, infrastruktur teknologi, dan kapasitas petugasnya.
"Kalau Sirekap menggantikan sepenuhnya mekanisme rekapitulasi manual yang berlangsung selama ini, saya khawatir justru akan timbul permasalahan di lapangan yang akan menimbulkan kekisruhan baru," tutur Peneliti Perludem, Nurul Amalia Salabi.
Menurut dia, KPU harus menyiapkan segala sesuatu hal secara menyeluruh dalam rangka meyakinkan semua pihak percaya bahwa rekap-el akurat. Perludem hanya optimistis jika rekap-el digunakan sebagai pendamping proses rekapitulasi manual dan pembanding antara data digital dan data manual.