REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Haedar Nashir
Demokrasi dibangun di atas daulat rakyat. Rakyatlah pemegang penuh kuasa pemerintahan. Anggota parlemen hanyalah wakil rakyat, lembaganya pun disebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tidak lebih, tidak kurang.
MPR yang pada masa lalu pemegang tertinggi kedaulatan rakyat pun hanyalah tempat rakyat bermusyawarah. Presiden, gubernur, wali kota, bupati, bersama para wakilnya semua dipilih rakyat. Sebagai mandataris rakyat. Rakyat itulah pemegang saham kekuasaan.
Demokrasi bahkan berkredo vox populi vox dei. Suara rakyat suara Tuhan. Ketika rakyat sudah bersuara, mesti diberi nilai tertinggi, terkoneksi misi ketuhanan. Di dalamnya ada sakralisasi demokrasi yang tidak boleh diabaikan dan diselewengkan.
Namun, demokrasi tidak seagung kredo ketika dihadapkan dalam realitas politik. Selalu ada bias dan penyalahgunaan suara rakyat. Para wakil dan mandataris rakyat tidak menyuarakan kehendak rakyat. Entah suara siapa yang diperjuangkan. Lalu, di mana suara rakyat?
Ketika suara rakyat diwakilkan dan dimandatkan kepada elite sebagai aktor dalam institusi pemerintahan negara. Logika dasar demokrasi meniscayakan suara elite politik itu sama sebangun dengan kehendak rakyat.
Apakah elite di eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga lain dalam dirinya menjelma kehendak rakyat? Bukan kehendak dirinya, apalagi kehendak pihak lain yang merugikan rakyat?
Disahkannya sejumlah kebijakan maupun undang-undang yang ditentang dan merugikan rakyat menunjukkan bukti suara dan kehendak rakyat dicederai serta disalahgunakan oleh para wakil dan mandataris rakyat. Praktik demokrasi berbeda antara keharusan (das sollen) dan kenyataan (das sein). Hidup rakyat dibuat merana oleh para mandataris dan wakilnya.
Rakyat yang terepresentasi dalam kelompok buruh atau pekerja, petani, nelayan, mereka yang tidak memiliki pekerjaan tetap, kelompok marginal, dan mayoritas yang dikenal wong cilik dalam kenyataan sering terabaikan dan menjadi korban kebijakan-kebijakan dan perundang-undangan negara.
Atas nama rakyat merugikan rakyat. Demokrasi dari rahim rakyat melahirkan balada kisah sedih bagi rakyat. Malin Kundang demokrasi berbuat durhaka kepada ibu yang melahirkannya.
Namun, para elite negeri tidak merasakan ironi. Ketika aspirasi rakyat disuarakan, elite dengan piawai mengingkari, rakyat yang mana? Setiap kebijakan dan undang-undang yang merugikan rakyat pun diklaim atas nama rakyat.
Lahir sikap bebal politik dan arogansi kuasa. Bila para elite di eksekutif, legislatif, dan yudikatif sudah berkehendak meski ditentang rakyat, maka tidak ada yang dapat mencegah dan menghentikan.
Seng ada lawan! Suara Tuhan pun tak didengar, bak kafilah berlalu di gurun keruhanian nan gersang. Shumum bukmun ‘umyun fahum la yarji’un (QS al-Baqarah: 17). Mereka tuli, bisu, dan buta hatinya; maka tidaklah mereka akan kembali ke jalan yang benar. Demokrasi sebaik apa pun konsepnya, akhirnya melahirkan praktik-praktik politik yang antidemokrasi.
Inilah ironi dunia demokrasi Indonesia saat ini. Para mandataris dan wakil rakyat mengingkari suara rakyat atas nama rakyat, dengan bebal dan angkuh kuasa. Kita teringat drama ketatanegaraan pada awal reformasi.
Ketika amendemen UUD 1945 dilakukan, yang ingin diakhiri ialah kekuasaan mutlak, khususnya eksekutif. Kini, yang terjadi adalah absolutisme kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif sekaligus dalam jalinan politik oligarki yang angkuh diri.
Demokrasi liberal Indonesia melahirkan kekebalan elite politik karena merasa dipilih langsung rakyat. Mata hatinya buta karena digdaya kuasa.
Era Reformasi dalam wujud lain akhirnya melahirkan praktik baru kekuasan absolut, mengulang Orde Lama dan Orde Baru. L’histoire se répète, sejarah berulang, kata pepatah Prancis, sealur pemikiran sejarawan Inggris Philip Guedalla.