REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Subroto, Jurnalis Republika
Ranah Minang diguncang gempa 7,6 Skala Richter pada 30 September 2009 sekitar pukul 17.16 WIB. Guncangan dahsyat itu menyebabkan kerusakan parah di beberapa wilayah. Tak hanya Kota Padang, ibu kota Sumbar yang luluh lantak, dua kota dan empat kabupaten juga menderita.
Gedung-gedung perkantoran roboh. Satkorlak Penanggulangan Bencana mencatat ratusan ribu rumah rusak. Lebih dari 1.000 orang meninggal dunia.
Tentu saja aku sedih dengan musibah itu. Aku teringat keluargaku di Sawahlunto, 90 kilometer dari Kota Padang. Segera saja aku mengajukan diri untuk meliput gempa itu di Padang. Selain liputan, aku juga beralasan untuk menengok keluarga di Sawahlunto. Walaupun Sawahlunto tak terdampak gempa, tapi aku tetap khawatir dengan keluarga di sana.
Saat aku sampai di Kota Padang beberapa hari setelah gempa, kota itu masih luluh lantak. Banyak bangunan hancur. Malam hari jalan-jalan gelap dan sepi. Transportasi umum masih jarang.
Aku menyaksikan Hotel Ambacang yang roboh. Di situ diperkirakan paling banyak warga meninggal. Puluhan mayat masih tertimbun di reruntuhan. Bau anyir mayat menyengat sampai kejauhan. Tak terbayangkan, beberapa bulan sebelum gempa, aku sempat menginap di hotel itu.
Selain melakukan liputan di lapangan, aku berencana mewawancarai Gubernur Sumatra Barat Gamawan Fauzi. Gamawan adalah narasumbar kunci untuk mendapatkan informasi penanganan gempa.
Siang itu aku menuju rumah dinas gubernur di Jalan Sudirman. Rumah itu juga dijadikan posko penanggulangan bencana. Suasana ramai. Orang-orang lalu lalang, tim SAR, relawan, petugas medis, polisi, tentara, juga wartawan.
Kesempatan untuk mewawancarai gubernur sangat terbatas. Gamawan terlihat sibuk berkoordinasi dan menerima tamu-tamu.
Tapi aku sabar menunggu. Dari ajudan gubernur aku dapat informasi bahwa Gamawan bersiap-siap berangkat ke bandara. Dia akan menjemput menteri yang melakukan peninjauan ke Sumbar.
Aku tunggu Gamawan di pintu keluar. Aku akan melakukan doorstop saat dia keluar nanti. Doorstop adalah wawancara dengan cara mencegat nara sumber. Biasanya saat dia keluar pintu ruangan.
Tak lama menunggu, Gamawan keluar diikuti oleh sejumlah pejabat Pemprov Sumbar. Deretan mobil sudah bersiap di luar.
Begitu berada di depannya, langsung aku ajukan pertanyaan. Sambil memperkenalkan, aku wartawan Republika dari Jakarta.
“Wah saya tak ada waktu. Mau ke bandara,” jawab Gamawan sambil tetap berjalan.
“Sebentar saja Pak. Sudah jauh-jauh datang dari Jakarta nih,” pintaku sambil menahan jalannya.
Dia diam sejenak. “Ayo naik ke mobil saya. Kita ngobrol di dalam mobil,” tak disangka dia malah mengajakku ikut ke bandara.
Tentu saja aku girang. Segera saja aku ikuti langkah Gamawan ke dalam mobilnya. Rombongan bergerak ke bandara.