Jumat 23 Oct 2020 15:41 WIB

Perpanjangan Restrukturisasi Kredit Jaga Stabilitas Bank

Program perpanjangan restrukturisasi kredit disambut positif kalangan perbankan.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Restrukturisasi kredit
Foto: Republika
Restrukturisasi kredit

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memutuskan memperpanjang program restrukturisasi kredit hingga Maret 2022. Sebelumnya pada 13 Maret lalu, OJK telah mengeluarkan POJK No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease yang berlaku sampai 31 Maret 2021.

Program perpanjangan restrukturisasi kredit disambut positif kalangan perbankan nasional. Salah satunya, Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja, menurutnya perpanjangan tersebut dapat membantu kebutuhan industri perbankan.

Baca Juga

“Ya betul sekali (perpanjangan restrukturisasi kredit) sangat membantu perbankan. OJK sangat mengerti kebutuhan industri perbankan,” ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Jumat (23/10).

Hal senada juga diungkapkan Sekretaris Perusahaan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Aestika Oryza Gunarto. Menurutnya perseroan menyambut baik perpanjangan restrukturisasi kredit oleh OJK. “Dengan adanya restrukturisasi ini maka meringankan beban debitur BRI utamanya para pelaku UMKM yang saat ini tengah berjuang untuk recovery bisnis mereka. Puncak restrukturisasi kredit BRI terjadi pada April dan Mei yang lalu,” ucapnya.

Dari sisi lain, menurutnya, restrukturisasi ini membuat perseroan fokus menjaga sustainability kinerja, diantaranya dengan meningkatkan cadangan guna mengantisipasi loan at risk. Perseroan menargetkan untuk menjaga NPL coverage rate di atas 200 persen.

Sementara Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menilai restrukturisasi kredit dibutuhkan dunia usaha dan industri bank di tengah pandemi. “Akibat pandemi dunia usaha mengalami permasalahan cash flows, penerimaan menurun sementara pengeluaran tetap besar termasuk pengeluaran untuk membayar cicilan pokok dan bunga bank,” ucapnya.

Menurutnya apabila tidak dibantu dengan restrukturisasi maka besar kemungkinan kredit ke bank akan macet. Jika terjadi kredit macet tidak hanya perusahaan itu yang mengalami kesulitan tetapi banknya.

“Kalau kreditnya macet bank tidak hanya kehilangan keuntungan tetapi juga mengalami penurunan cadangan modal,” ucapnya.

Maka adanya landasan pemikiran itu, selama pandemi masih berjangkit, kebijakan pelonggaran restrukturisasi kredit masih sangat dibutuhkan. Hal ini untuk melindungi dunia usaha termasuk industri perbankan.

“Dengan restrukturisasi ini  memang keuntungan bank akan turun tetapi lebih baik laba turun daripada kredit menjadi macet. Laba tidak hanya turun bank bisa mengalami kerugian dan penurunan modal, stabilitas perbankan bisa terganggu,” ucapnya.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan perpanjangan tersebut dilakukan setelah memperhatikan asesmen terakhir yang dilakukan. OJK terkait debitur restrukturisasi sejak diputuskannya rencana memperpanjang relaksasi ini pada saat Rapat Dewan Komisioner OJK pada 23 September 2020.

“Perpanjangan relaksasi restrukturisasi ini sebagai langkah antisipasi untuk menyangga terjadinya penurunan kualitas debitur restrukturisasi. Namun kebijakan perpanjangan restrukturisasi diberikan secara selektif berdasarkan asesmen bank untuk menghindari moral hazard agar debitur tetap mau dan mampu melakukan kegiatan ekonomi dengan beradaptasi di tengah masa pandemi ini,” ujarnya.

OJK segera memfinalisasi kebijakan perpanjangan restrukturisasi ini dalam bentuk POJK termasuk memperpanjang beberapa stimulus lanjutan yang terkait antara lain pengecualian perhitungan aset berkualitas rendah (loan at risk) dalam penilaian tingkat kesehatan bank, governance persetujuan kredit restrukturisasi, penyesuaian pemenuhan capital conservation buffer dan penilaian kualitas Agunan yang Diambil Alih (AYDA) serta penundaan implementasi Basel III.

Adapun realisasi restrukturisasi kredit sektor perbankan per 28 September 2020 sebesar Rp 904,3 triliun untuk 7,5 juta debitur. Sedangkan non performing loan (NPL) pada September 2020 sebesar 3,15 persen menurun dari bulan sebelumnya sebesar 3,22 persen.

“Untuk menjaga prinsip kehati-hatian, bank juga telah membentuk cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang dalam enam bulan terakhir menunjukkan kenaikan,” ucapnya.

Ke depan OJK terus mencermati dinamika dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga kestabilan sektor jasa keuangan guna mendukung pemulihan ekonomi nasional. Adapun relaksasi dalam POJK 11 tersebut terdiri dari, pertama, penilaian kualitas kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk kredit sampai Rp 10 miliar.

Kedua, restrukturisasi dengan peningkatan kualitas kredit/pembiayaan menjadi lancar setelah direstrukturisasi. Ketentuan restrukturisasi ini dapat diterapkan bank tanpa batasan plafon kredit.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement