REPUBLIKA.CO.ID, Sejenak setelah UU Cipta Kerja diundangkan dengan diberikan identitas administratif, dengan penomoran UU Nomor 11 Tahun 2020, media sosial ramai dengan kiriman penunjukan kesalahan penulisan dalam UU tersebut. Kesalahan menjadi semakin kentara sebab berada di lembar-lembar awal naskah.
Ketentuan Pasal 6 UU Cipta Kerja berisi rujukan pada Pasal 5 ayat (1) huruf a UU yang sama. Padahal, dengan hanya melirik dapat terlihat bahwa dalam Pasal 5 tidak terdapat ketentuan ayat, lebih-lebih huruf a yang dirujuknya. Bila mencermati pasal demi pasal dalam UU Cipta Kerja disinyalir akan sangat mungkin diketemukan kesalahan-kesalahan lainnya.
Kesalahan penulisan menjadi salah satu bukti mutakhir yang mendukung dalil bahwa penyusunan UU Cipta Kerja banyak memiliki cacat prosedural. Keterburu-buruan dalam mengeluarkan kebijakan mengalahkan prinsip kecermatan dalam penyusunan legislasi.
Bayang-bayang ketidakjelasan akan dokumen resmi UU Cipta Kerja pada saat pengesahannya dalam Sidang Paripurna DPR tanggal 5 Oktober 2020 menambah pelik perihal kesalahan penulisannya. Kecurigaan akan penyelundupan pasal lebih besar daripada sekadar kesalahan penulisan.
Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Suka tidak suka, UU Cipta Kerja sudah diundangkan dan secara serta merta telah berlaku dan mengikat umum. Terlepas dari perdebatan politik yang menyelimuti proses penyusunan dan substansi kebijakan dalam UU Cipta Kerja, kesalahan penulisan dalam dokumen legislasi memerlukan jalan keluar melalui mekanisme hukum.
Kesalahan penulisan tidak bisa dikategorikan ringan sebab dampaknya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Seharusnya, tersedia mekanisme hukum dalam rangka mengoreksi kesalahan penulisan yang terburu tercantum dalam dokumen legislasi yang telah diundangkan. Sayangnya, mekanisme prosedural untuk mengoreksi kesalahan penulisan atas sebuah produk legislasi yang telah diundangkan tidak tersedia.
Satu-satunya mekanisme yang disediakan konstitusi untuk menilai produk legislasi yang telah diundangkan adalah melalui jalur uji konstitusional di Mahkamah Konstitusi. Namun apakah dalam kewenangan MK memeriksa permohonan pengujian UU yang sekaligus mengoreksi kesalahan penulisan dalam UU?