REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masa pandemi Covid-19 ini sebetulnya menjadi momentum yang tepat untuk memperbaiki perekonomian nasional. Hanya saja, hal tersebut tidak mampu dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Dr. Mukhaer Pakkanna selaku Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) mengaku bahwa awalnya ia berpikir disrupsi yang diusung pandemi Covid-19 menjadi momentum reorientasi paradigma pembangunan ekonomi di Tanah Air.
“Ternyata, hingga detik ini, tidak ada tanda-tanda inisiatif dan gagasan apalagi kebijakan pemerintah untuk melakukan reorientasi, terutama berkaitan imperatif sila Keadilan Sosial,” ungkapnya.
Mukhaer menjelaskan World Economic Forum (WEF) berobsesi melakukan reorientasi (great reset) peradaban dunia yang dipicu disrupsi pandemi. Hajatnya ingin menciptakan konsensus baru tentang bagaimana peradaban global ditata, meliputi tata kelola ekonomi, politik, dan sosial yang adil.
“Great reset berasumsi bahwa setiap nyawa korban Covid-19 merupakan utang yang harus dibayar peradaban manusia lewat perubahan dan reorientasi bagaimana kita hidup ke depan, yang merawat ekosistem semesta. Memperhatikan lingkungan (greener), keadilan (fairer), dan lebih banyak mengadopsi teknologi (smarter) yang ramah terhadap kemanusiaan,” terang Mukhaer dalam siaran persnya, Jumat (13/11).
Lebih lanjut, Mukhaer mengapresiasi langkah Korea Selatan yang telah menyiapkan itu semua, melalui paradigma Green New Deal. “Apa yang dilakukan Korea Selatan, mirip the New Deal yang dilontarkan Franklin Roosevelt ketika diangkat menjadi Presiden Amerika ke 32. The New Deal menjadi panacea atau obat mujarab dalam memulihkan ekonomi dunia,” jelasnya.
Sementara itu, Mukhaer mempertanyakan perubahan yang dilakukan atau kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia di tengah pandemi Covid-19 ini, yang sejatinya bisa menjadi momentum untuk melakukan reset, menyusun semacam the new deal.
“Kebijakan kita lebih banyak yang berorientasi myopic, nir-visi dan makin pragmatis. Produk regulasi kita lebih banyak pada persoalan "perut" dan ingin instan. Terjadi pendangkalan nalar dalam melahirkan kebijakan. Kita lebih banyak utak-atik kebijakan eklektik (tambal sulam) tanpa disertai dasar. Sedangkan, di tingkat publik, kita lebih banyak riuh dan asyik dengan politik kerumunan. Bahkan riskan melahirkan social distrust karena diprovokasi oleh para aktor yang lagi bermain di panggung sandiwara,” pungkasnya.