REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Orang yang memasak dengan bahan bakar biomassa, seperti kayu berisiko menderita kerusakan parah pada paru-paru. Hal itu diketahui dari pencitraan lanjutan dengan CT.
Orang yang memasak dengan bahan bakar biomassa bisa menghirup konsentrasi polutan dan racun bakteri yang berbahaya. Studi tersebut telah dipresentasikan pada pertemuan tahunan Radiological Society of North America (RSNA).
Studi mengungkapkan sekitar tiga miliar orang di seluruh dunia memasak dengan biomassa, seperti kayu atau sikat kering. Polutan dari memasak dengan biomassa merupakan kontributor utama bagi perkiraan empat juta kematian setahun, akibat penyakit terkait polusi udara rumah tangga.
Sementara inisiatif kesehatan masyarakat telah mencoba memberikan dukungan untuk transisi dari bahan bakar biomassa ke bahan bakar gas cair dengan pembakaran yang lebih bersih sebagai sumber bahan bakar. Namun, sejumlah besar rumah terus menggunakan bahan bakar biomassa. Kendala finansial dan keengganan mengubah kebiasaan yang sudah mapan, merupakan faktor-faktor yang dikombinasikan dengan kurangnya informasi tentang dampak asap biomassa pada kesehatan paru-paru.
Penting untuk mendeteksi, memahami, dan membalikkan perubahan awal yang berkembang sebagai respons terhadap paparan kronis terhadap emisi bahan bakar biomassa," kata salah satu penulis studi tim multidisiplin yang dipimpin oleh Eric A Hoffman di University of Iowa, Kizhakke Puliyakote, dilansir di Times Now News, Sabtu (28/11).
Tim itu bekerja sama dengan peneliti dari Institut Sains dan Teknologi Periyar Maniammai menyelidiki dampak polutan kompor pada 23 orang yang memasak dengan gas minyak cair atau biomassa kayu di Thanjavur, India. Para peneliti mengukur konsentrasi polutan di rumah, kemudian mempelajari fungsi paru-paru individu itu menggunakan tes tradisional, seperti spirometri.
Mereka juga menggunakan pemindaian CT canggih untuk membuat pengukuran kuantitatif. Misalnya, tim memperoleh satu pemindaian saat orang tersebut menghirup dan pemindaian lainnya setelah mereka menghembuskan napas, dan mengukur perbedaan antara gambar untuk melihat bagaimana fungsi paru-paru.
Analisis menunjukkan bahwa mereka yang memasak dengan biomassa kayu terpapar konsentrasi polutan dan endotoksin bakteri lebih besar dibandingkan pengguna gas minyak cair. Mereka juga memiliki tingkat perangkap udara yang jauh lebih tinggi di paru-paru, yaitu suatu kondisi yang terkait dengan penyakit paru-paru.
Puliyakote menjelaskan perangkap udara terjadi ketika bagian paru-paru tidak dapat secara efisien bertukar udara dengan lingkungan. Saat seseorang menghirup udara berikutnya, orang itu tidak mendapatkan cukup oksigen atau menghilangkan karbon dioksida. "Bagian paru itu telah mengganggu pertukaran gas," ujarnya.
Para peneliti menemukan subset yang lebih kecil dari pengguna biomassa yang memiliki tingkat perangkap udara yang sangat tinggi dan mekanisme jaringan yang abnormal, bahkan jika dibandingkan dengan pengguna biomassa lainnya. Sekitar sepertiga dari kelompok tersebut, lebih dari 50 persen udara yang mereka hirup terperangkap di paru-parunya.
"Peningkatan sensitivitas dalam subkelompok juga terlihat dalam penelitian lain pada perokok tembakau, dan mungkin ada dasar genetik yang membuat beberapa individu menjadi lebih rentan terhadap lingkungan mereka," kata Puliyakote.
CT menambahkan informasi penting tentang efek asap pada paru-paru yang diremehkan oleh tes konvensional. Puliyakote mengatakan tingkat kerusakan dari bahan bakar biomassa tidak dapat ditangkap dengan baik oleh tes tradisional.
"Anda memerlukan teknik yang lebih canggih dan sensitif seperti pencitraan CT," ujarnya.
Puliyakote mengatakan keuntungan utama menggunakan pencitraan adalah sangat sensitif sehingga seseorang dapat mendeteksi perubahan regional yang halus sebelum berkembang menjadi penyakit yang parah. Dengan begitu, pasien dapat mengikuti perkembangan penyakit dalam waktu singkat.
Kurangnya emfisema dalam kelompok studi menunjukkan bahwa paparan asap biomassa mempengaruhi saluran udara kecil di paru-paru. Meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami proses penyakit. Terlepas dari itu, hasil studi tersebut menggarisbawahi pentingnya meminimalkan paparan asap. Meskipun tidak ada gejala yang jelas atau kesulitan bernapas, paru-paru mungkin mengalami cedera dan pembengkakan yang tidak terdeteksi, serta berpotensi tidak terselesaikan pada beberapa orang.
"Untuk orang yang terpapar asap biomassa untuk jangka waktu lama, penting memiliki penilaian lengkap fungsi paru oleh profesional perawatan kesehatan untuk memastikan bahwa setiap potensi cedera dapat diatasi dengan intervensi yang tepat," kata Puliyakote.
Sementara studi difokuskan pada memasak dengan biomassa, temuan tersebut memiliki implikasi penting untuk paparan asap biomassa dari sumber lain, termasuk kebakaran hutan. Sehubungan dengan peningkatan prevalensi asap biomassa akibat kebakaran hutan di AS, penelitian itu dapat memberikan wawasan berharga mengenai desain penelitian serupa yang berfungsi untuk memahami implikasi yang berkembang pada kesehatan paru-paru.