Oleh : Muhammad Hafil*
REPUBLIKA.CO.ID, Bebasnya masyarakat yang bisa berekspresi dengan mencurahkan isi hatinya melalu medsos terkadang memunculkan rasa kekhawatiran. Salah satunya komentar-komentar soal keagamaan.
Di mana pada saat ini, banyak masyarakat, yang di dunia maya disebut netizen atau warganet, mudah sekali menghujat pendapat-pendapat yang tidak sependapat dengan mereka. Hingga akhirnya, mereka mudah sekali saling mencaci-maki orang-orang yang berseberangan pendapat.
Misalnya saja, ada masyarakat yang meyakini bahwa Islam hanya bisa ditegakkan secara utuh dengan adanya sistem pemerintahan yang berdasarkan Islam, apapun bentuk konstitusinya. Atau, ada yang meyakini ajaran Islam hanya bisa ditegakkan dengan sistem ketatanegaraan yang transnasional, atau lintas negara tak mengenal kebangsaan.
Keyakinan yang seperti ini seperti melupakan tidak semua umat Islam di Indonesia menginginkan negara dengan sistem yang seperti itu. Atau, lupa bahwa ada non-Muslim di negeri ini, yang juga pernah sama-sama berjuang mendirikan negara ini.
Atau, permasalahan-permasalahan lainnya yang terkait dengan keagamaan. Dan soal lainnya seperti soal sosial-kemasyarakatan, hingga ekonomi.
Nah, di sini, NU mengambil perannya yang tidak kaku. NU memberikan solusi bagi permasalahan-permasalahan itu.
Soal negara bangsa misalnya, NU mendukung penuh Pancasila. Bahkan termasuk yang membidani lahirnya dasar negara ini.
Dikisahkan, sebelum Pembukaan/Muqaddimah (Preambule) disahkan pada 17 Agustus 1945, Mohammad Hatta mengutarakan aspirasi dari rakyat Indonesia bagian Timur yang mengancam memisahkan diri dari Indonesia jika poin Ketuhanan, 'dengan Kewajiban Menjalankan Syari'at Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya' tidak diubah esensinya.
Akhirnya setelah berdiskusi dengan para tokoh agama di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wahid Hasyim, dan Teuku Muh. Hasan, ditetapkanlah bunyi poin pertama Piagam Jakarta yang selanjutnya disebut Pancasila itu dengan bunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tokoh ulama yang berperan menegaskan konsep Ketuhanan yang akomodatif itu adalah KH Wahid Hasyim.
Dalam pandangannya, Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan konsep tauhid dalam Islam. Sehingga tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menolak konsep tersebut dalam Pancasila. Artinya, dengan konsep tersebut, umat Islam mempunyai hak menjalankan keyakinan agamanya tanpa mendiskriminasi keyakinan agama lain. Di titik inilah, menjalankan Pancasila sama artinya mempraktikan Syariat Islam dalam konsep hidup berbangsa dan bernegara.
Atau, dalam masalah-masalah yang disebutkan tadi seperti sosial, kemasyarakatan, hingga ekonomi, NU juga hadir memecah kebuntuan. Pendapat-pendapat NU lahir untuk kebaikan bersama-sama, bukan hanya untuk membela keyakinan satu golongan saja.
Menurut hemat penulis, kiprah NU seperti ini karena NU dengan kader-kadernya yang didik sejak dari pesantren, dilatih untuk banyak melihat berbagai macam referensi dalam menghadapi sebuah persoalan. Di pesantren, kader-kader NU mulai dari pesantren dilatih untuk melihat berbagai macam kitab-kitab rujukan. Sehingga, solusi atau fatwa yang dikeluarkan kelak tidak kaku.
Selain itu, para santri itu dilatih untuk melihat sebuah dalil, harus dilihat dengan kacamata kontekstual bukan tekstual. Sehingga, pendapatnya bisa dipakai yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Inilah NU, yang pendapat-pendapat serta fatwanya bisa diterima oleh berbagai kalangan. Meskipun, ada juga pihak-pihak yang berusaha meremehkan pendapat-pendapat dari NU tersebut. Namun, setelah dikaji lagi, pendapat-pendapat yang disampaikan NU itu selalu memiliki dasar pijakan dan dalil. Tidak pendapat yang melenceng dari nilai-nilai keislaman.
Selamat merayakan hari lahir NU yang ke-95. Semoga NU selalu memberikan pencerahan-pencerahan di masyarakat.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id