Jumat 05 Feb 2021 05:02 WIB

Hari Berduka Cinta (Cerpen)

Menikahlah dengan pria yang sangat mencintai ibunya.

Red: Karta Raharja Ucu
Senja berduka cinta.
Foto:

Sang ibu masih anteng di tempat duduknya. Sesekali, perempuan berkulit putih, berhidung bangir, bermata kecil yang dilengkapi alis tebal itu memutarkan kepalanya melihat isi ruangan. Wajahnya masih terlihat cantik untuk ukuran perempuan berusia 51 tahun. Keriput memang mulai tampak, tapi waktu seolah tak bisa merenggut kecantikannya.

Dokter Zainab sesekali melihat wajah Abdul. Ada raut lelah di sana. Tapi tak tampak raut pemberontakan di wajah laki-laki yang sore itu memakai kaus berlambang sebuah warung makan gudeg legendaris yang hanya ada satu-satunya di Yogyakarta tersebut. Penampilan Abdul sederhana. Penampilannya sehari-hari.

Dokter Zainab hati-hati memeriksa Sarah, sembari sesekali bertanya kepada Abdul sejak kapan ibunya mengalami gatal-gatal. Dokter Zainab lalu melihat ruam-ruam merah di wajah dan tangannya, hingga menyimpulkan jika Sarah terkena alergi. Kembali ke kursinya kemudian menuliskan resep obat.

Sebelum kertas resep berpindah tangan, pertanyaan kembali meluncur dari bibir tipis Dokter Zainab. Ia sangat berhati-hati berbicara. "Maaf Mas Abdul, semoga pertanyaan saya tidak dianggap lancang. Kalau keadaan ibu seperti ini, mohon maaf, apakah ibu Anda sebelumnya pernah menikah?"

Dokter Zainab langsung memindahkan pandangannya ke wajah Sarah saat Abdul tersenyum mendengar pertanyaannya. Senyum tulus laki-laki yang cinta kepada ibunya. Dokter Zainab tak enak hati. Ia juga malu. Dokter Zainab kini berdistraksi dengan wajah ibu Sarah.

"Ibu saya sempat menikah, Dok. Almarhum kakek saya menikahkan beliau ketika berusia 23 tahun. Setahun menikah, saya lahir, setelah itu ayah saya wafat karena kecelakaan."

"Saya lalu dibesarkan mbah, sampai beliau mangkat saat usia saya 25 tahun. Tiga tahun lalu. Eyang putri saya sudah lebih dulu meninggal saat saya kuliah. Setelah itu, saya seorang diri mengurus ibu, karena beliau anak tunggal."

Dokter Zainab tak tahu lagi apa yang harus ia bicarakan. Pikirannya berkelana ke rumah orang tuanya di Jakarta. Ingatannya meloncat ke wajah almarhum bundanya yang sangat mencintai ia dan ayahnya. Ibunda Dokter Zainab meninggal saat ia baru menyelesaikan studi di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Dokter Zainab rindu bunda dan ayahnya.

Seumur hidupnya yang tahun ini menginjak tiga dekade, Dokter Zainab baru melihat secara nyata penghormatan anak kepada orang tuanya. Kesabaran dan cinta anak kepada ibunya. Entah sudah berapa banyak kajian ilmu yang sudah Dokter Zainab datangi. Entah sudah berapa banyak ceramah tentang birrul walidain yang Dokter Zainab dengarkan. Namun, baru kali ini Dokter Zainab melihat secara langsung contoh anak berbakti kepada orang tua.

Otak Dokter Zainab berupaya sekuat tenaga memerintahkan matanya untuk tidak berair. Namun, usahanya gagal. Entah Abdul melihat air matanya atau tidak.

"Mas Abdul," kata Dokter Zainab menyerahkan secarik kertas berisi resep obat, "Ibu Mas Abdul terkena alergi. Kemungkinan besar dari makanan atau udara dingin. Ini saya berikan resep obat untuk ditebus kemudian ibu minum. Saya juga sertakan salep untuk dioleskan ke kulit ibu."

Abdul menerima kertas resep dan berterima kasih. Laki-laki yang janggutnya disesaki rambut tersebut hendak pamit.

"Saya yang berterima kasih kepada Mas Abdul, karena sudah memberikan pelajaran sangat berharga tentang berbakti kepada orang tua."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement