REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini memprediksi pembatalan revisi UU Pemilu akan mendorong sejumlah pihak menempuh gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu akan terjadi jika DPR dan pemerintah tidak melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilu.
Menurut Titi, revisi UU Pemilu yang menggabungkan rezim pemilihan kepala daerah (pilkada) menjadi kesempatan sejumlah pihak memberikan masukan perbaikan pelaksanaan pemilihan. Namun, saat RUU Pemilu sudah masuk ke Badan Legislasi (Baleg) DPR, sejumlah fraksi menolak melanjutkan pembahasan revisi.
Penolakan ini mencuat ketika rencana jadwal pilkada serentak November 2024 dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada diubah. RUU Pemilu meniadakan pilkada serentak 2024, tetapi menjadwalkan pilkada 2022 dan 2023 bagi daerah yang sebelumnya melaksanakan pilkada 2017 dan 2018.
"Akhirnya semua berbondong-bondong ke MK untuk melakukan penyesuaian pengaturan," ujar Titi dalam diskusi daring, Kamis (11/2).
Ia menambahkan, MK akan menjadi sandaran perubahan pengaturan pemilu karena UU-nya tidak jadi direvisi. Titi mengatakan, hal ini semakin menguatkan fenomena judicialisation of politic atau yudisialisasi politik. Yaitu, ditarik masuknya hakim dan pengadilan untuk menyelesaikan persoalan politik.
Perludem menjadi salah satu pihak yang mendorong revisi UU Pemilu. Salah satu alasannya, karena Pilkada Serentak 2024 akan digelar bersamaan dengan Pemilu 2024. Sedangkan, Perludem mencatat sejumlah problematika dan kompleksitas yang akan terjadi dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada 2024.
"Kami sendiri sangat khawatir akan terjadi kekacauan elektoral ketika semua ditumpuk dalam satu tahun yang sama," kata Titi.
Saat penyelenggaraan pemilu diperkirakan kompleks di 2024, tetapi pengaturannya tidak diperbaiki atas permasalahan teknis dan keadilan elektoral yang terjadi pada Pemilu 2019 lalu. Terobosan dan inovasi kepemiluan sepenuhnya mengandalkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Peraturan KPU (PKPU).
Contohnya, penggunaan teknologi seperti Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) untuk penyesuaian teknis pengelolaan pemilu yang memudahkan dan mengurangi beban penyelenggara. Akan tetapi, semua bergantung KPU, karena instrumen hukum level UU tidak memadai.
"Nanti persis seperti Pilkada 2020. KPU diminta melakukan ini itu, tetapi KPU-nya menjawab 'Kami tidak bisa melampaui apa yang diatur oleh undang-undang.' Ini akan kita hadapi secara teknis di 2024 kalau undang-undang pemilunya tidak diperbaiki," tegas Titi.
Selain itu, persoalan kekosongan hukum saat kepala daerah terpilih diketahui belakangan tidak memenuhi syarat calon. Hal ini berkaca pada kasus Orient P Riwu Kore yang dinyatakan sebagai warga negara Amerika Serikat, setelah lolos pencalonan kepala daerah hingga menjadi bupati Sabu Raijua terpilih 2020.
"Lalu pemilu di tengah bencana nonalam itu juga perlu penyesuaian-penyesuaian pada level undang-undang," tutur Titi.
Saat ini, hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan fraksi Partai Demokrat yang masih menginginkan revisi UU Pemilu untuk memisahkan pilkada dengan pemilihan presiden 2024. Sedangkan, tujuh fraksi menolak melanjutkan pembahasan RUU Pemilu, yakni enam fraksi barisan partai koalisi pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan satunya lagi fraksi Partai Amanat Nasional (PAN).