REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rakhmad Zailani Kiki, Kepala Lembaga Peradaban Luhur (LPL), Ketua Bidang Pemberdayaan Masyarakat Ikatan Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pernyataan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj di sebuah acara webinar (Senin, 5/4/2021) bahwa dosen agama di fakultas umum tingkat universitas diminta untuk tidak terlalu banyak mengajarkan akidah dan syariah karena dapat meningkatkan risiko peningkatan radikalisme telah menimbulkan polemik.
Menurut saya, karena bentuknya permintaan, maka pernyataan KH Said tersebut tidak usah ditolak, tapi direnungkan saja dan menjadi bahan muhasabah, introspeksi oleh semua dosen agama di fakultas umum. Muhasabah ini dilakukan dengan satu pertanyaan: Apakah benar materi agama yang mereka ajarkan terkait akidah dan syariah malah meningkatkan radikalisme?
Satu pertanyaan di atas menjadi penting untuk ditemukan jawabannya. Menurut saya jawabannya dapat ditemukan di peristiwa belasan tahun lalu ketika di almamater saya, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dikenal sebagai kampus pembaharuan Islam justru muncul pemikiran dan gerakan terorisme --bukan sekadar radikalisme-- dari kalangan mahasiswanya.
Dua mahasiswa, yaitu Afham Ramadhan dan Soni Jayadi, divonis oleh majelis hakim empat tahun dan enam bulan penjara karena menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme. Seorang alumninya, Fajar Firdaus, juga dipidana karena kasus yang sama. Setelah itu, ada alumninya bernama Pepi Fernando, pemimpin teroris dengan bom buku, yang divonis 18 tahun penjara.
Walaupun UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tidak pernah mengajarkan mahasiswa tentang radikalisme, paham intoleren, apalagi terorisme, tetapi Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang ketika itu dijabat oleh Prof Dr Komaruddin Hidayat saat tampil di sebuah stasiun televisi swasta saat ditanya presenter tentang mahasiswanya yang yang menjadi bagian dari jaringan teroris, beliau menjawab dengan melakukan introspeksi ke dalam, ke kurikulum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sendiri.
Menurut Prof Dr Komaruddin Hidayat, sejak "Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya" tidak dimasukkan ke dalam kurikulum dan tidak diajarkan ke mahasiswa UIN Syarif Hdayatullah Jakarta, maka mahasiswanya rentan untuk terpapar terorisme. Sebab, di MKDU ini mahasiswa mendapatkan pemahaman Islam yang utuh, tidak parsial, dari segala aspeknya sehingga menjadi filter dan tameng yang memadai bagi mahasiswa untuk menolak pemikiran yang merusak, radikalisme yang intoleran apalagi terorisme.
Saya termasuk generasi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (ketika itu masih IAIN) yang beruntung karena mendapatkan MKDU Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Mata kuliah yang harus diberikan dan diambil oleh mahasiswa semester awal.
Nama MKDU diambil dari buku karya mantan Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Harun Nasution, yang berjudul sama: "Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya".
Buku ini terdiri atas dua jilid, yang membahas tentang agama dan pengertian agama, pengertian Islam yang sebenarnya, aspek ibadah, latihan spiritual dan ajaran moral, aspek sejarah dan kebudayaan, aspek politik, lembaga-lembaga kemasyarakatan, aspek hukum, aspek teologi, aspek filsafat, aspek mistisisme, dan aspek pembaharuan dalam Islam.
Begitu lengkapnya aspek yang dibahas dalam MKDU ini sehingga dapat memberikan fondasi yang kuat, menjadikan mahasiswa moderat, dan menjadi modal yang cukup bagi mahasiswa dalam menghadapi dan melawan radikalisme yang intoleran dan juga terorisme.
Bahkan, ada satu materi di MKDU tersebut yang menarik dan masih membekas di diri saya sampai hari ini, yaitu tentang aspek politik dalam ajaran Islam. Dikatakan menarik karena dengan menguasai satu materi ini saja, sebenarnya sudah cukup menjadi filter dan tameng bagi mahasiswa menghadapi radikalisme yang intoleran dan terorisme. Mahasiswa berpikiran dan bersikap moderat.
Prof Harun Nasution menjelaskan di awal bab bahasan aspek politik di bukunya tersebut (jilid I) bahwa persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam menurut sejarah bukanlah persoalan tentang keyakinan malahan persoalan politik. Dengan kata lain, gara-gara persoalan politik, persoalan kekuasaan yang terjadi di antara para sahabat kemudian melahirkan paham Khawarij, Syiah, Murjiah, dan lain-lain.
Jika dulu seperti itu, maka sekarang pun sama. Paham keagaaman yang merusak, radikalisme yang intoleran dan terorisme yang hadir di zaman ini sejatinya merupakan alat politik. Media untuk merebut kekuasaan atas nama agama, bukan sejatinya ajaran agama dan bukan untuk agama itu sendiri.
Karenanya, untuk tidak mengulang adanya mahasiswa yang berpaham merusak, radikalisme yang intoleran dan terlibat jaringan teroris, UIN kembali mengadakan mata kuliah ini dengan nama yang berbeda, tapi dengan cakupan yang sama. Dan sampai tulisan ini saya buat, belum ada lagi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang terlibat jaringan teroris, semoga tidak pernah ada lagi.
Jadi, menurut saya, pernyataan dan permintaan KH Said dijadikan warning saja agar fakultas-fakultas umum tersebut memperbaiki kurikulum dan silabus mata kuliah keislamannya. Dan justru, menurut saya, materi keislaman harus banyak diajarkan kepada mahasiswa, tetapi tidak cukup hanya pada aspek akidah dan syariahnya saja, melainkan pada semua aspek seperti yang tertera di dalam buku "Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya" karya Prof Dr Harun Nasution.
Karena pihak kampuslah yang dimintai tanggung jawab, disalahkan, jika ada mahasiswanya bahkan alumninya berpaham radikalisme yang intoleran atau masuk jaringan teroris. Bukan NU, Muhammadiyah atau ormas Islam lainnya!