REPUBLIKA.CO.ID, OlehL Ina Salma Febriani
Memasuki tahun kedua pandemi, ramadan tahun ini masih dalam suasana pembatasan sosial. Kegiatan keagaamaan mulai dilaksanakan perlahan, dengan protokol yang kesehatan sangat ketat. Termasuk aktivitas ibadah ramadan. Masjid yang menjadi tempat favorit ibadah setiap ramadan, belum sepenuhnya terlaksana secara normal seperti tahun-tahun lalu.
Tapi, apa yang dirindukan saat ramadan tiba selain ta’jil, buka bersama (bukber) dan tradisi mudik—terlebih di sepuluh malam terakhir? I’tikaf! Ya, I’tikaf menjadi ibadah ‘khas’ di sepuluh malam terakhir ramadan sebagai wujud cinta seorang hamba pada keluhuran bulan mulia; bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an.
Rasulullah Saw sendiri senantiasa membiasakan diri untuk berkhalwat beberapa bulan sebelum ramadan. Kebiasaan ini sudah terbentuk setidaknya—tiga bulan sebelum datangnya bulan ramadan, agar secara lahir maupun batin, Rasulullah siap.
Syaikh Shafiyurrahman Mubarakfury dalam karyanya Sirah Nabawiyah, misalnya menguraikan; Ramadan adalah bulan ‘menyendiri’ bagi Rasulullah Saw. Beliau berkhalwat berhari-hari hingga jarang pulang. Sesekali beliau pulang, karena ingin mengunjungi para isteri dan mencukupi perbekalan, kemudian beliau lanjutkan lagi untuk menyendiri.
Nah, tradisi ‘menyendiri’ ala Rasulullah inilah yang akhirnya pula mengejawantah dalam serangkaian ibadah yang juga beliau laksanakan di masjid atau yang lebih kita kenal dengan I’tikaf (berdiam diri di masjid, mengisinya dengan aktivitas ibadah) Betapa tidak? Ramadan sebagai syahru Qur’an, membuat interaksi beliau dengan al-Qur’an kian lekat dan dekat. Jibril seringkali hadir menyapa Rasulullah, membacakan al-Qur’an dan merekapun mengulangi ayat demi ayat, surah demi surah, hingga tuntas keseluruhan al-Qur’an.