Jumat 21 May 2021 10:25 WIB

Ini Sebab Orang-Orang Mudah Marah di Masa Pandemi

Kelelahan akibat pandemi cukup menjadikan manusia menjadi tidak rasional.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Nora Azizah
Kelelahan akibat pandemi cukup menjadikan manusia menjadi tidak rasional.
Foto: www.freepik.com
Kelelahan akibat pandemi cukup menjadikan manusia menjadi tidak rasional.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Beberapa waktu lalu beredar video-video pemudik marah ketika diminta putar balik di sejumlah pos penyekatan mudik. Psikolog UGM, Dr Diana Setiyawati menilai, kondisi itu terjadi karena mereka sedang berada dalam fase kekecewaan.

"Secara umum disebut fase kekecewaan dalam respon psikologis bencana, penuh kekecewaan dan tanda tanya kapan pandemi berakhir," kata Diana, dikutip Jumat (21/5).

Baca Juga

Peneliti Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM ini menyebutkan, masyarakat sangat sensitif saat berada pada masa ini. Sebab, kelelahan akibat pandemi cukup menjadikan manusia menjadi tidak rasional.

Ditambah, pembatasan mobilitas dan penyekatan di setiap perbatasan menjadikan ruang gerak sebagai mahluk sosial terhubung secara langsung semakin terbatas. Sebagian dapat beradaptasi, melakukan komunikasi dan terhubung secara digital.

Tapi, ada banyak orang yang tidak bisa melakukan atau beradaptasi dengan cara tersebut. Misalnya, ayah dan ibu di kampung, entitas sosial di kampung halaman. Sudah dua kali Lebaran tidak bisa mudik, perasaan bertemu keluarga sangat kuat.

"Kondisi ini bisa dipahami menjadikan masyarakat mudah marah karena menyakitkan bagi mereka. Psikologis sudah lelah terhadap pandemi dan hasrat untuk terhubung menjadi sangat besar," ujar Diana.

Diana menjelaskan, ada beberapa fase dalam respon psikologi bencana. Pertama, predisaster atau situasi normal belum terjadi bencana. Lalu, impact/inventory atau saat bencana terjadi mosi seperti kebingungan, ketakutan dan kehilangan.

Kemudian, merasa bertanggung jawab melakukan sesuatu lebih. Berikutnya, fase heroik terpanggil melakukan aksi membantu dan menyelamatkan orang lain. Lalu, fase honeymoon, terjadi sekitar tiga bulan awal dengan harapan segera pulih.

"Selanjutnya, fase disillusionment, setelah bencana berlangsung beberapa saat orang merasa kekecewaan karena pandemi yang tidak selesai-selesai. dan merasa kecewa akan kondisi yang ada," kata Diana.

Fase kekecewaan ini akan mudah mengalami naik turun. Kondisi ini terjadi jika ada situasi pemicu salah satunya seperti larangan tidak boleh mudik. Terakhir, fase rekonstruksi. Ia berharap, masyarakat bisa segera memasuki fase tersebut.

Diana berpendapat, untuk mengatasi kekecewaan masyarakat akibat pandemi memang tidak mudah. Penyelesaian tidak cukup dilakukan level mikro lewat manajemen emosi melalui peningkatan spiritualitas dan literasi terkait kondisi pandemi.

Namun, harus di tingkat makro melalui penetapan kebijakan pemerintah. Sebab, kalaupun marah karena kesulitan secara ekonomi, harus dipahami memang tidak mudah bagi Indonesia yang merupakan negara besar memenuhi kebutuhan masyarakat.

"Ini memang sulit, pada akhirnya kembali ke keluarga dan individu dan semangat yang harus di kedepankan saat ini gotong royong untuk saling meringankan beban ," ujar Diana.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement