Selasa 25 May 2021 10:35 WIB

Ganjar Vs PDIP, Mirip Drama Jokowi Jelang Pilpres 2014

PDIP menjegal Ganjar atau sedang menciptakan drama demi menggenjot elektabilitas.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat melintasi Jalan Layang Non Tol (JLNT) Tanah Abang-Kampung Melayu di Jakarta, Ahad (23/5). Menjadi kader PDIP dengan elektabilitas tertinggi, Ganjar saat ini justru sedang berpolemik dengan elite partai banteng moncong putih. (ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat melintasi Jalan Layang Non Tol (JLNT) Tanah Abang-Kampung Melayu di Jakarta, Ahad (23/5). Menjadi kader PDIP dengan elektabilitas tertinggi, Ganjar saat ini justru sedang berpolemik dengan elite partai banteng moncong putih. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani*

Sejarah soal polemik internal PDI Perjuangan (PDIP) menjelang pilpres terulang. Jika dahulu, Joko Widodo (Jokowi) sebelum ditetapkan Megawati Soekarnoputri jadi capres dari PDIP mesti melalui rintangan drama penolakan dari kalangan internal yang menilai Jokowi bukanlah ‘kader asli’ partai banteng, kini drama itu dilakoni oleh elite PDIP yang dikomandoi putri Megawati, Puan Maharani, versus Ganjar Pranowo.

Ganjar sengaja tak diundang dalam acara pengarahan partai menuju Pemilu 2024 di Kantor DPD PDIP Jateng di Semarang, akhir pekan lalu. Dalam susunan acara pengarahan yang beredar di kalangan media, terungkap bahwa undangan kegiatan pengarahan dari Puan Maharani ditujukan kepada kepala daerah dan wakil kader se-Jateng kecuali gubernur (Ganjar). Dalam susunan acara itu, kalimat “kecuali gubernur” diberi penekanan dengan tanda kurung.

Media-media ramai memberitakan ketidakhadiran Ganjar pada acara partainya sendiri di wilayah tempat ia memimpin dan kemudian diketahui bahwa dia tak diundang. Ketua DPD PDIP Jateng Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul pun lalu bak menyiram bensin ke bara api dengan gayanya yang terkenal lantang terang-terangan menyerang Ganjar.

"Tidak diundang! (Ganjar Pranowo), wis kemajon (kelewatan), yen kowe pinter, ojo keminter (bila kamu pintar, jangan sok pintar)," kata Bambang lewat siaran persnya, Ahad (23/5). Dalam siaran pers itu, DPD PDIP Jateng dengan terang-terangan menyebut Ganjar terlalu berambisi maju pada Pilpres 2024.

Menurut Bambang, DPD PDIP Jateng sudah pernah memberikan sinyal kepada Ganjar bahwa sikapnya yang terlalu ambisi dengan jabatan presiden tidak baik. Di sisi lain, belum ada keputusan dari Megawati Soekarnoputri, sebagai pemberi mandat tertinggi di PDIP atas siapa yang bisa menjadi capres atau cawapres dalam pilpres.

Sepak terjang dan intensitas Ganjar di media sosial (medsos) telah membuat gerah elite PDIP. Bambang Pacul bahkan menyoroti aksi Ganjar yang sampai rela menjadi host dalam akun Youtube-nya, yang menurutnya hal seperti itu tidak akan dilakukan oleh kader lainnya di PDIP yang juga berpotensi nyapres karena memahami etika demi menjaga keharmonisan partai.

Bagi PDIP, tingginya elektabilitas Ganjar saat ini belum bisa dijadikan patokan. Kubu elite banteng moncong putih berargumen, elektabilitas Ganjar saat ini semata terdongkrak dari pemberitaan dan medsos yang menurut Bambang Pacul bisa mudah dikalahkan dalam kontestasi politik secara riil.

Faktanya, Ganjar memang menjadi satu-satunya kader PDIP yang elektabilitasnya saat ini berada di jajaran teratas bersama tokoh, seperti Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, atau Sandiaga Uno. Ambil saja sampel dari tiga hasil survei dari yakni Indikator Politik, Charta Politika, dan Saiful Mujani Research Center (SMRC), maka diperoleh benang merah; lima besar elektabilitas tertinggi diisi oleh lima tokoh yang itu-itu juga, di mana Ganjar selalu ada di antara kelimanya.

Dari beberapa survei, Prabowo biasanya selalu menempati urutan teratas, sementara Ganjar dan Anies bersaing ketat di saling salip di urutan kedua. Bagaimana dengan kader PDIP selain Ganjar? Ada nama Tri Rismaharini yang berdasarkan survei Charta Politika, elektabilitasnya hanya pada kisaran 5 persen, sementara Puan Maharani bahkan malah mentok pada angka 1-2 persenan.

Sebagai figur yang berpotensi nyapres pada 2024 dengan bekal angka elektabilitas dari beragam survei plus jabatan strategisnya saat ini sebagai gubernur Jateng, Ganjar bisa dibilang cerdas dalam mengapitalisasi potensinya itu. Pria yang kini berusia 52 tahun itu secara maksimal menggunakan medsos sebagai saluran ‘menjual citra’ agar semakin dikenal publik dan mampu mempertahankan capaian elektabilitasnya saat ini.

Berbagai platform medsos digarap oleh Ganjar dengan jumlah pengikut (follower), yang tidak boleh dinilai main-main. Di Twitter pengikut Ganjar berjumlah 1,9 juta, di Instagram bahkan mencapai 3,4 juta, sementara akun Youtube pribadi Ganjar memiliki 960 ribu subscriber. Belakangan juga santer isu berembus bahwa Ganjar memiliki pasukan khusus di medsos.

Ganjar dan juga mungkin bersama timnya pasti memahami jika nantinya ia menjadi capres, yang harus diperjuangkan bukan hanya pemilih tradisional atau berdasarkan basis pendukung partai, melainkan juga kalangan suara mengambang yang memilih pada saat akhir saban pilpres kerap menjadi penentu siapa yang menjadi pemenang. Suara mengambang yang masif itu adalah kalangan milenial dan sebagian generasi Z yang sudah punya hak memilih dan mereka aktif di medsos.

Kembali ke soal drama Ganjar vs PDIP saat ini, dalam konteks politik bisa dianalisis dari dua sisi. Pertama, PDIP memang tengah berupaya menjegal jalan Ganjar menuju Pilpres 2024 dan yang kedua adalah PDIP sengaja menciptakan drama ini justru sebagai upaya menggenjot lagi elektabilitas kedua belah pihak.

Untuk premis pertama, Ganjar mesti dijegal karena Megawati tetap menginginkan Puan yang harus berkontestasi di Pilpres 2024. Terlepas Puan menjadi capres atau cawapres, representasinya di panggung pilpres adalah demi meneruskan hegemoni trah Soekarno, baik di lingkup partai dan spektrum elite kepemimpinan nasional.

Skenario yang paling mungkin sepertinya adalah menjadikan Puan sebagai cawapres dan dia dipasangkan bersama Prabowo Subianto yang kemungkinan besar akan diusung sebagai capres oleh Gerindra. Benar saja, sejak drama Ganjar vs PDIP mencuat, mulai muncul riak-riak semboyan "Prabowo-Puan harga mati" di medsos.

Jika skenario ini yang nantinya dipilih oleh Megawati, PDIP harus bersiap akan risiko kehilangan Ganjar yang bisa saja dipinang oleh parpol atau koalisi parpol pada Pilpres 2024. Bukan tidak mungkin, pada Pilpres 2024 nanti, oleh koalisi parpol, Ganjar malah dipasangkan dengan Anies yang jika ditilik dari perspektif elektabilitas, pasangan ini bisa menjadi penantang serius bagi pasangan mana pun.

Adapun untuk premis yang kedua, drama Ganjar vs PDIP saat ini sebenarnya sengaja dipentaskan secara gamblang ke publik justru demi kepentingan Ganjar sendiri. Ganjar saat ini seakan diposisikan sebagai korban intrik internal partai, tetapi pada akhirnya nanti tetap dipilih oleh Megawati sebagai capres. Jika menilik sejarah sebelum Pilpres 2014, skenario ini mirip-mirip dengan apa yang terjadi pada Jokowi.

Dahulu, saat muncul ke panggung politik nasional, Jokowi bukanlah kader asli PDIP. Jokowi adalah seorang pengusaha yang kemudian dipinang oleh PDIP dan kemudian menjadi seperti sekarang. Pada 2013 atau setahun menjelang Pilpres 2014, nama Jokowi persis seperti Ganjar saat ini di mana pengusaha mebel yang saat itu menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta memiliki tingkat elektabilitas yang moncer.

Saat itu, Bambang Pacul jugalah yang menjadi striker dari kalangan elite PDIP yang melancarkan serangan-serangan sebagai upaya mendelegitimasi Jokowi. Namun, pada waktu-waktu akhir pendaftaran capres 2014, keputusan Megawati akhirnya memberikan mandat kepada Jokowi menjadi capres dan terbukti angka-angka elektabilitas bukanlah hal yang patut diremehkan, seperti apa yang dibilang oleh Bambang Pacul saat mencibir Ganjar sekarang.    

*penulis adalah redaktur Republika.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement