REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Teguh Imami, Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Universitas Airlangga.
JAKARTA -- Gelombang kedua Pandemi Covid-19 dengan munculnya berbagai varian baru masih menyisahkan pilu. Selain kemiskinan dan kelaparan, bertambahnya jumlah kasus kematian menyebabkan banyak anak menjadi yatim piatu.
Hampir di berbagai wilayah, anak yang menjadi yatim piatu itu belum mengetahui bagaimana mereka menatap masa depan. Jangankan menatap, membayangkan saja mereka takut. Kehadiran orang tua yang menjadi penuntun dan panutan hidup, sudah tinggal cerita.
Sepekan terakhir ini pun berbagai media massa menjadikan kasus anak yatim piatu ditinggal wafat oleh orang tuanya sebagai headline utama. Kisah-kisah kesedihan, tangisan, ketidakberdayaan yatim piatu, diangkat menjadi kisah yang selalu kita baca dan dengarkan.
Data dari Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menunjukkan bahwa korban jiwa terutama yang terjadi pada kelompok usia di atas 60 tahun adalah 46,5 persen, disusul usia 46-59 tahun 36,8 persen, dan usia 31-45 tahun 12,9 persen. Kelompok usia 0-5 tahun dan 6-18 tahun yang jadi korban jiwa masing-masing 0,5 persen serta kelompok usia 19-30 tahun 2,8 persen.
Data tersebut mempertegas usia yang saat ini menjadi orang tua banyak yang wafat dan meninggalkan anak-anaknya.
Ribuan anak yang ditinggal wafat oleh orang tuanya adalah harapan masa depan bangsa. Salah satu diantara mereka mungkin kelak akan memimpin negeri ini. Membiarkan nasib mereka hari ini sama dengan menghancurkan Indonesia di kemudian hari.