REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan aturan minimal jumlah peserta didik sebagai syarat penerimaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bukan hal baru. Peraturan tersebut agar pemerintah daerah dan masyarakat penyelenggara pendidikan melakukan penggabungan sekolah yang peserta didiknya terlalu sedikit.
"Karena jumlah peserta didik yang rendah merupakan penanda bahwa para orang tua menganggap kualitas layanan dari sekolah-sekolah tersebut tidak sesuai harapan," ungkap Plt Karo BKHM Kemendikbudristek, Anang Ristanto kepada Republika.co.id lewat pesan singkat, Jumat (3/9).
Menurut Anang, kondisi itu dapat membuat inefisiensi dalam pengalokasian sumber daya, termasuk guru, dapat dilakukan. Dengan penggabungan sekolah, tata laksana akan lebih efisien dan secara mutu akan dapat lebih ditingkatkan.
"Jika BOS terus diberikan kepada sekolah-sekolah dengan kualitas layanan tidak sesuai harapan, maka akan menyebabkan pemborosan anggaran negara. Kemendikbudristek perlu melakukan pembatasan untuk memastikan masyarakat terus menerima layanan pendidikan yang berkualitas," kata dia.
Anang mengatakan, bagi sekolah-sekolah yang dapat membuktikan rendahnya jumlah peserta didik bukan karena mutu tapi karena hal lain, seperti kondisi daerah, maka sesuai aturan, pemerintah daerah setempat dapat segera mengajukan pengecualian kepada Kemendikbudristek. Dia juga mengungkapkan, pada 2021, peraturan tersebut belum berdampak.
Semua sekolah, termasuk sekolah dengan jumlah peserta didik di bawah 60, masih menerima BOS. Menurut dia, itu karena aturan tersebut ada mulai sejak 2019 dan semua daerah diberikan kesempatan tiga tahun untuk melakukan penataan.
"Kemendikbudristek sedang mengkaji kesiapan penerapan kebijakan di atas untuk tahun 2022 dan senantiasa selalu menerima masukan dari berbagai pihak," kata dia.
Dia menjelaskan, aturan itu memang bukan hal yang baru. Sejak 2019, Kemendikbudristek mengatur, sekolah yang selama tiga tahun berturut-turut memiliki jumlah murid kurang dari 60 orang untuk tidak lagi menerima dana BOS reguler. Salah satunya terdapat pada Permendikbud Nomor 3 Tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis BOS Reguler pada Lampiran Bab III, Huruf A, angka 2, huruf k.
Sebelumnya, Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan untuk menolak Permendikbud Nomor 6 Tahun 2021 menentang ketentuan minimal 60 peserta didik dalam tiga tahun terakhir tersebut. Aturan itu dinilai merugikan sekolah-sekolah swasta.
Pemerhati pendidikan sekaligus anggota aliansi, Doni Koesoema A mengatakan, jangankan di daerah terdepan, tertinggal, dan terpencil (3T), sekolah swasta di tengah kota pun tak sedikit yang tidak bisa mendapatkan dana BOS reguler karena syarat tersebut.
Keadaan tersebut sering kali terjadi bukan karena kesalahan sekolah swasta. Namun, pemerintah lebih banyak membangun sekolah negeri di daerah, terutama untuk tingkat pendidikan dasar.
Dia mengambil contoh kasus di Sleman, Yogyakarta. Di sana ada sekolah yang tidak bisa mendapatkan dana BOS. Padahal, sekolah itu menerima siswa yang tidak dapat masuk ke sekolah negeri karena keterbatasan kuota. Sekolah-sekolah swasta itu memberikan akses pendidikan kepada anak-anak dari keluarga tak mampu yang tak dapat masuk ke sekolah negeri.
"Seharusnya pemerintah memperhatikan peranan sekolah-sekolah swasta yang sudah sejak lama berkarya di tempat-tempat itu jauh sebelum Indonesia ini merdeka," ujar pria dia.