REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia dan Komite Pendayagunaan Pertanian
Peternak pedaging dan telur ayam kembali turun ke jalan, Senin (11/10). Mereka terpaksa berdemonstrasi karena sudah habis akal. Diskusi, mediasi, lobi, bagi-bagi ayam hidup dan telur, hingga berurusan dengan polisi telah mereka lalui. Bahkan, somasi hingga menggugat ke pengadilan. Namun, tuntutan keadilan masih jauh dari kenyataan.
Bertahun-tahun harga ayam hidup yang mereka produksi sering di bawah harga pokok produksi. Demikian pula, harga telur ayam. Harga juga acap kali di bawah acuan seperti diatur Permendag No 7 Tahun 2020: Rp 19 ribu-Rp 21 ribu per kg.
Ironisnya, harga daging dan telur ayam yang kelewat rendah itu tak berlaku di pasar. Konsumen tetap membeli daging ayam di atas Rp 30 ribu per kg dan telur lebih Rp 20 ribu per kg. Di sisi lain, harga input, baik ayam hidup sehari (DOC), pakan, dan obat-obatan meroket.
Peternak terpukul dua kali: biaya produksi terus naik, harga jual produk sering kali rendah. Sialnya, pelaku usaha beragam. Kekuatan mereka tak seimbang. Pertama, perusahaan integrator. Seluruh usaha dilakukan terintegrasi, mulai dari hulu ke hilir.
Kedua, perusahaan yang memproduksi bibit hingga budi daya. Perusahaan pertama dan kedua bermodal kuat, memakai teknologi modern, terintegrasi vertikal, dan mengendalikan pasar.
Ketiga, peternak plasma/mitra dari perusahaan pertama dan kedua. Mereka mendapatkan kemudahan akses pasar dan input produksi (DOC, pakan, vaksin, serta obat-obatan) dengan harga berbeda dari pasar.
Keempat, peternak mandiri. Biasanya, skala usaha mereka kecil, memakai modal sendiri, rendah akses pasar, dan tanpa afiliasi langsung dengan perusahaan terintegrasi. Kelima, pedagang perantara (broker).