Kamis 18 Nov 2021 04:29 WIB

KTT Iklim Melempem, Hadiah Buat Bumi yang Sekarat?

Negara negara masih mempertahankan kepentingannya di KTT Iklim.

Aktivis iklim mengadakan demonstrasi melalui tempat KTT Iklim PBB COP26 di Glasgow, Skotlandia, Jumat, 12 November 2021.
Foto: AP/Alberto Pezzali
Aktivis iklim mengadakan demonstrasi melalui tempat KTT Iklim PBB COP26 di Glasgow, Skotlandia, Jumat, 12 November 2021.

Oleh : Christianingsih, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Simon Kofe berdandan rapi dengan mengenakan setelan berdasi. Dengan latar belakang bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa, ia menyampaikan pidatonya untuk Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (COP26) pada 5 November silam. Penampilannya menyedot perhatian dunia lantaran ia tampil nyentrik. Dengan celana tergulung sampai lutut, ia berpidato dari laut di Funafuti, Tuvalu.

Menteri Kehakiman, Komunikasi, dan Luar Negeri Tuvalu ini memberi sindiran keras terhadap dunia karena negaranya terancam tenggelam akibat perubahan iklim. Negara kecil, yang namanya mungkin baru kita dengar sekarang ini, mendorong tindakan agresif dari para pemimpin dunia untuk mengerem pemanasan global.

Jika tidak, Tuvalu hanya tinggal menunggu waktu untuk lenyap. Nasib serupa juga akan dialami negara-negara pulau di Samudera Pasifik jika bumi terus menghangat dan air laut terus naik.

Di belahan bumi lain, India berjibaku dengan polusi udara akut dan pencemaran air tanpa ampun. Badan Pemantau Lingkungan SAFAR mencatat, indeks kualitas udara kota New Delhi pada Ahad (14/11) jatuh dalam kategori sangat buruk. Krisis polusi semakin kompleks dengan pembakaran limbah tanaman saat musim dingin.

Sekolah-sekolah di New Delhi akan ditutup selama sepekan lantaran kondisi udara yang penuh polusi. Proyek konstruksi dihentikan. Semua pekerja kantor pemerintah juga bekerja dari rumah demi mengurangi jumlah kendaraan penghasil polusi.

Di Rusia, kebakaran hutan ekstrem dan gelombang panas mencairkan tundra di Siberia. Ribuan hektare hutan di Kalifornia Amerika Serikat (AS),  Turki, dan Yunani juga kondisinya setali tiga uang dengan Rusia.

Apa kabar di Indonesia? Laporan berjudul 'New Elevation Data Triple Estimates of Global Vulnerability to Sea-Level Rise and Coastal Flooding' yang diterbitkan jurnal Nature Communications 29 Oktober 2019, Jakarta  diprediksi akan tenggelam pada 2050 mendatang. Kota-kota di pesisir utara Pulau Jawa seperti Pekalongan, Semarang, dan Cirebon pun menghadapi isu yang sama.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyampaikan dampak perubahan iklim terhadap pesisir utara Pulau Jawa semakin tinggi dengan adanya penurunan muka tanah di wilayah itu. Menyeberang ke Pulau Kalimantan, Kabupaten Sintang di Kalimantan Barat masih tergenang banjir saat tulisan ini dibuat.

Artinya empat pekan banjir yang merendam ribuan rumah di wilayah itu belum surut. Ironisnya di tengah penanganan krisis iklim, penyataan kontraproduktif justru dilayangkan Menteri KLHK Siti Nurbaya Bakar.

Dalam sebuah utas di Twitter pada 3 November, ia menyatakan pembangunan besar-besaran tak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi. Pernyataan itu pun langsung dihujani kritik baik oleh warganet maupun kalangan aktivis lingkungan.

Sikap yang ditunjukkan itu membuat kita bertanya, seriuskah Indonesia berkontribusi melawan perubahan iklim? Di tingkat dunia, negosiasi elite global dalam COP26 di Glasgow kemarin juga dipandang masih melempem. Daftar bencana alam akibat perubahan iklim makin panjang tapi waktu untuk menyelamatkan bumi semakin sedikit. Di sisi lain komitmen memangkas emisi karbon masih tarik ulur.

Dalam COP 26, muncul klausul yang menyerukan penghapusan pembangkit listrik tenaga batu bara. Namun India yang didukung China dan negara-negara berkembang lainnya yang bergantung pada batu bara menolak klausul tersebut. Setelah diadakan dialog, redaksional klausul itu diganti menjadi 'menghentikan secara bertahap' penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara.

Menteri Lingkungan Hidup India  Bhupender Yadav mengisyaratkan adanya diskriminasi dalam klausul yang 'bisu' terhadap minyak dan gas alam. Perubahan redaksional dianggap mengecewakan bahkan ilmuwan iklim Australia, Bill Hare, menuding India sejak lama menjadi penghambat aksi iklim. Swiss menyebut perubahan redaksional akan mempersulit pembatasan pemanasan global di ambang 1,5 derajat celcius.

Arab Saudi, Rusia dan Australia yang kekayaan negaranya bersandar pada minyak serta batu bara juga dituduh menjegal dialog perubahan iklim. Kendati sudah memiliki rencana jangka panjang Saudi Vision 2030, yang programnya menitikberatkan pendapatan negara tak lagi bergantung pada bahan bakar fosil, Arab Saudi menegaskan akan terus menjual dan memompa minyak sepanjang masih ada permintaan.

Masing-masing negara masih terlihat mempertahankan egonya. Alasannya jelas, pemangkasan penggunaan bahan bakar fosil pasti akan memengaruhi banyak aspek terutama ekonomi.

Dalam kehidupan nyata menyelamatkan dunia bukan tugas Superman atau Wonder Woman. Namun 10 negara penghasil karbon terbesar dunia seperti China, Amerika Serikat, Uni Eropa, termasuk Indonesia yang harusnya menjadi superhero. Apalagi Indonesia bersama Brasil dan Kongo bertanggung jawab atas 85 persen hutan di bumi.

Lembaga non-profit World Resources Institute (WRI) mengatakan hutan menyerap 30 persen emisi karbon dioksida dan mencegahnya menghangatkan bumi. Namun lagi-lagi kita harus bersedih karena hasil pelacakan deforestasi WRI yakni Global Forest Watch mencatat pada tahun 2020 dunia kehilangan hutan seluas 285 ribu kilometer persegi, lebih luas dari wilayah Inggris.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement