Selasa 23 Nov 2021 00:14 WIB

Dua Pakar Ungkap Pil Covid-19 tak Bisa Berhasil Begitu Saja

Ada faktor yang menentukan pil Covid-19 bisa berhasil atau tidak.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Ada faktor yang menentukan pil Covid-19 bisa berhasil atau tidak.
Foto: www.freepik.com
Ada faktor yang menentukan pil Covid-19 bisa berhasil atau tidak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah vaksin, kini perusahaan farmasi seperti Merck dan Pfizer telah membuat pil Covid yang diklaim bisa efektif mengurangi keparahan dan kematian akibat virus corona. Berbagai negara, termasuk Indonesia, telah memesan obat tersebut guna mengantisipasi kemungkinan hadirnya gelombang baru virus corona.

Meski begitu, para ahli mengatakan bahwa keberhasilan pil ini akan bergantung pada akses masyarakat pada tes Covid-19 yang cepat dan akurat.

Baca Juga

“Kemudahan akses pada tes Covid-19 yang akurat, memungkinkan kami membuat keputusan yang benar-benar ideal terkait obat ini. Sebab ini akan menjadi tanggung jawab kami ketika menyediakan pil pada strategi kesehatan masyarakat di AS,” kata Kepala Dewan Penyakit Menular dari American Board of Internal Medicine, Dr Erica Johnson.

Dalam uji klinis, molnupiravir diberikan kepada pasien dewasa yang tidak dirawat di rumah sakit dan tidak divaksinasi, dalam lima hari sejak gejala Covid-19 pertama kali muncul. Merck mengklaim bahwa pil molnupiravir terbukti mengurangi rawat inap sekitar 50 persen dan mencegah kematian pada orang dewasa dengan gejala ringan hingga sedang, yang berisiko terkena komplikasi karena usia atau kondisi yang mendasarinya.

Obat antivirus yang dikembangkan oleh Merck & Co dan Ridgeback Biotherapeutics ini akan dipertimbangkan oleh panel penasehat Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (CDC) pada 30 November. Sementara itu produk Pfizer, Paxlovid, telah diuji pada pasien serupa dalam waktu tiga hari setelah gejala muncul. Pejabat Pfizer telah mengajukan izin penggunaan darurat ke FDA, dengan mengatakan bahwa paxlovid mengurangi risiko rawat inap dan kematian hingga 89 persen.

Kapasitas pengetesan Covid-19 di AS terus menghadapi sejumlah masalah, termasuk rantai pasokan yang mandek, kekurangan staf, lonjakan permintaan tes sementara hasil bisa memakan waktu berjam-jam bahkan lebih lama.

Di Indonesia sendiri, meski pemerintah sudah menurunkan harga PCR atau polymerase chain reaction tests, hasil tesnya masih harus menunggu 6 jam bahkan berhari-hari. Adapun tes antigen, meski hasilnya bisa cepat namun banyak ahli meragukan keakuratannya.

Pil antivirus juga diklaim akan lebih murah daripada perawatan antibodi monoklonal, yang membebani pemerintah AS sekitar 1.250 dolar AS per dosis dan biaya tambahan lainnya. Pil jauh lebih mudah digunakan, dan apotek kemungkinan akan diizinkan untuk memesan dan mengeluarkannya untuk digunakan di rumah.

“Namun, pil antivirus tidak akan menggantikan perawatan antibodi,” kata Dr. Brandon Webb, spesialis penyakit menular di Intermountain Healthcare di Salt Lake City seperti dilansir dari NBC, Selasa (23/11).

Pertanyaan lainnya masih berkisah pada keamanan jangka panjang obat di beberapa populasi. Molnupiravir Merck bekerja dengan menyebabkan mutasi yang mencegah virus berkembang biak. Pengobatan Pfizer, yang mencakup Paxlovid dan ritonavir dosis rendah, antiretroviral HIV, dapat menyebabkan interaksi dengan obat lain atau bahkan suplemen yang dijual bebas.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement