REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Santoso mengkritik Pasal 13 ayat 1 dalam draf Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Dalam pasal tersebut, pidana denda terhadap tindak pidana eksploitasi kekerasan seksual minimal sebesar Rp 200 juta.
"Dengan melihat kondisi banyaknya perdagangan orang, orang yang dipaksa menjadi pekerja seks komersial, menurut saya denda ini tidak membuat efek jera," ujar Santoso dalam rapat Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS, Rabu (8/12).
Pidana denda sebesar Rp 200 juta, menurutnya, tak akan membuat efek jera kepada pihak lain yang melakukan perdagangan dan eksploitasi seksual. Bahkan, ia menganalogikan denda tersebut hanya sanksi untuk sekelas panti pijat.
"Jadi menurut saya dalam memberikan sanksi, kita 'banci' ini Rp 200 juta, itu jaman kompeni. Jadi harus Rp 5 miliar paling sedikit, supaya pelaku benar-benar takut," ujar Santoso.
Sementara itu, Ketua Panja RUU TPKS Willy Aditya menegaskan, RUU TPKS tak melegalkan seks bebas dan LGBT seperti yang dilontarkan oleh pihak-pihak yang kontra. Untuk itu, Panja RUU TPKS akan terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait RUU ini.
Willy mengatakan, RUU ini bertujuan untuk memberikan payung hukum kepada korban kekerasan seksual dalam memperoleh keadilan. "Kehadiran RUU TPKS ini merupakan jawaban dari peradaban kita yang masih brutal, dan keadilan bagi si korban yang sejauh ini mereka cari," ujar dia.
Ia mengaku heran dengan adanya pihak yang melempar opini negatif kepada RUU TPKS. Opini negatif itu tanpa disertasi dasar data yang jelas dan melupakan nasib korban yang kerap mendapatkan perlakuan tak adil dari undang-undang yang ada saat ini.
"Jangan kemudian kita terus-terusan terjebak dengan agitasi kosong politik yang mengaduk-aduk emosi kita yang seolah-olah undang-undang ini bejat. Kita lihat siapa yang sebetulnya bejat (setelah RUU TPKS disahkan)," ujar Willy.