REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ridwan Saidi, Politisi Senior, Budayawan Betawi, dan Sejarawan
Pada tahun 1946 Jakarta diduduki Belanda, dan mereka membentuk pemerintahan kota di bawah seorang resident. Walikota Jakarta Suwiryo mengungsi ke Jogya. Resident memperluas kota ke arah selatan yang dinamakan Kebayoran Baru. Pelaksanaan pembangunan oleh yayasan Centraal Stichting Wederopbouw, CSW.
Nama CSW sampai dengan tahun 1990-an masih disebut oleh kondektur sebagai nama perempatan yang di salah satu sudutnya ada gedung ASEAN.
Pada tahun 1948 sudah ada jembatan Sudirman tapi kelebarannya pas untuk dua kendaraan verwijs. Pejalan kaki tak boleh melintas jembatan ini melainkan menggunakan jembatan bambu yang kelebarannya semeter.
Ketika pengakuan kedaulatan Desember 1949, residensi Jakarta bentukan Belanda bubar. Pembangunan Kebayuran Baru lanjut. Baik di masa Wali kota Suwiryo yang berakhir tahun 1951 mau pun era Wali kota Syamsurijal 1951-53.
Pasar-pasar besar yang dibangun Pasar Santa, Blok A, dan Majestic. Nama Majestic mengacu pada nama bioskop. Rumah ibadat dibangun untuk umat beragaaa ada tiga. Satu mesjid (al Azhar) dan dua gereja. Blok M untuk terminal dan ada deretan toko-toko. Lapangan sepak bola di Blok S. Selain perumahan di Jl Pakubuwono VI yang arsiteturnya asri, juga dibangun perumahan di tempat-tempat lain. Pembangunan
Kebayuran Baru selesai dan tidak ada yang mangkrak.
Di jaman Bung Karno juga tidak ada pembangunan yang mangkrak. Kompleks Senayan untuk DPR dan stadion, Jakarta by pass, kompleks Hotel Indonesia, jembatan Semanggi, Monas. Kalau bendungan Jatiluhur sebelum Orla. Pembangunan yang masih berproses ketika Bung Karno jatuh adalah mesjid Istiqlal.
Sekarang yang mangkrak, atau klaar tapi tak berfungsi? Hitung sendiri aja dah, saya capè. RSaidi