REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Saat ini istilah ‘flexing’ atau dengan kata lain memamerkan sesuatu secara berlebihan telah dianggap sebagai salah satu cara berbagi kebahagiaan. Namun, benarkah demikian?
Ratih Ibrahim MM, Psikolog Klinis & CEO Personal Growth mengatakan kebahagiaan yang kerap dimaknai manusia umumnya selalu bersumber dari hal-hal yang bersifat materialistik. Apakah semua itu dibutuhkan untuk kebahagiaan?
“Ternyata nggak semata-mata itu. Ternyata sumber kebahagiaan utama bukan itu. Karena banyak yang datang ke tempat saya akibat dari kecil sudah cemas,” kata Ratih dalam peluncuran “The Happiness Project” Wall’s, belum lama ini.
Kebahagiaan yang sesungguhnya datang dari bagaimana manusia memaknai hidup dan nilai-nilai yang dijunjung, serta mengupayakannya dalam keseharian. Kebahagiaan memang bisa saja hadir dari prestasi akademis, kemapanan finansial, atau jabatan.
Namun, sering kali itu bersifat sementara. adanya pandangan bahwa kebahagiaan hanya bersumber dari hal-hal yang bersifat materialistis tersebut justru dapat menyebabkan seseorang merasa kebahagiaan adalah sesuatu yang sulit atau bahkan mustahil dicapai.
Menurut hasil survei yang dilakukan oleh Personal Growth, aspek-aspek yang berkontribusi terhadap kebahagiaan seseorang memang lebih banyak pada materialistis. Hal itu meliputi, 90,4 persen memiliki rumah bagus, 83 persen kekayaan finansial, dan 66,2 persen prestasi akademik maupun profesional.
Terkait prestasi anak yang utama juga ternyata ditemuka tidak punya kontribusi terlalu signifikan terhadap subjektif kebahagiaan. Kontribusinya tidak terlalu signifikan.
Jadi, apa sebenarnya yang membuat bahagia? Temuan menunjukan bahwa yang paling banyak menimbulkan kebahagiaan, ketika mendapatkan relasi sosial, bisa silaturahmi, relasi harmonis antara suami istri, dan keluarga.