REPUBLIKA.CO.ID,MALANG--Memerhatikan kondisi mental memang penting tetapi jangan sampai melakukan diagnosis secara pribadi. Hal itu disampaikan oleh Kepala UPT Bimbingan dan Konseling UMM, Hudaniah.
Menurutnya, mendiagnosis diri sendiri akan sangat berisiko. Sifatnya akan menjadi subjektif dan tidak ada lagi sudut pandang orang lain. “Carilah orang yang profesional seperti psikolog atau datang ke psikiater," kata Hudaniah, Rabu (8/6/2022).
Menurut Hudaniah, masyarakat bisa juga mendatangi layanan bimbingan konseling (BK) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Melalui layanan tersebut, masyarakat akan dibantu dan dampingi untuk menangani masalah psikis yang.
Hudaniah menjelaskan ada beberapa pelayanan yang pihaknya sediakan dimulai dari yang bersifat klasikal atau individual. Klasikal yaitu bimbingan yang bertujuan agar orang mampu mengenali potensi dirinya, memahami lingkungan dan mampu mengatasi hambatan atau permasalahan yang dapat berpotensi untuk masa depan. Sementara itu, yang bersifat individual yaitu konseling yang didasarkan atas kemauan sendiri untuk memecahkan permasalahan atau trauma yang dimiliki.
Bimbingan yang bersifat klasikal biasanya diperuntukan untuk mahasiswa baru yang ingin mengenali potensi diri yang nantinya akan diarahkan untuk psikotes. Untuk yang individual biasanya berupa masalah pribadi terkait dengan keluarga ataupun dengan teman. "Pun juga dengan kondisi emosi,” jelas Hudaniah.
Ia menegaskan kembali bimbingan konseling akan jauh lebih efektif jika didasari atas kemauan sendiri. Berbeda dengan BK saat di sekolah, konseling di kampus akan siap sedia jika ada keluhan yang didasarkan atas kemauan sendiri terutama jika memiliki masalah. Pada intinya seseorang yang melakukan konseling karena butuh dukungan dan ingin berbagi cerita dengan orang lain.
Hudaniah bercerita setiap masalah yang membutuhkan konseling memiliki keunikan sendiri-sendiri. Di UMM sendiri konseli (client) yang dihadapi juga dari latar belakang masalah yang berbeda-beda. Ada yang berasal dari trauma dengan keluarga, masalah hubungan percintaan, masalah dengan tugas akhir dan juga merasa memiliki masalah dari dalam diri sendiri.
Pada beberapa kasus trauma, ada yang membutuhkan lebih dari sepuluh kali pertemuan untuk bisa sembuh. "Karena kondisi psikologis berbeda dengan fisik, seorang klien harus mempercayai penuh seorang konselor yang dipercayai untuk berbagi cerita,” ungkapnya.
Ia juga menilai sebagian masyarakat beranggapan negatif dengan mereka yang mengunjungi psikiater atau psikolog. Mereka acap dianggap memiliki gangguan jiwa atau stress. Padahal, orang juga perlu penanganan lebih lanjut jika sudah merasa tak nyaman dengan diri sendiri. Meski begitu, ia mengakui bahwa mengubah cara pandang orang bukanlah perkara yang mudah.
“Dulu, masyarakat kita kan tidak biasa dengan orang-orang yang memiliki perilaku berbeda. Bahkan ada yang dipasung karena memang belum mengenal apa itu psikiater dan psikolog. Tapi seiring waktu, masyarakat juga harus menyadari bahwa ada profesi-profesi yang dapat menangani kondisi seperti ini,” ungkapnya.
Hudan juga mengatakan bahwa pihaknya terus berupaya untuk mengedukasi berbagai lapisan masyarakat. Salah satunya sperti orang tua dan remaja ataupun calon pasangan yg mau menikah. Materinya juga beragam, mulai dari seberapa pentingnya menguatkan mental anak, bahkan juga edukasi mengenai pra nikah untuk mempersipkan kesehatan mental orang tua. Mereka juga masih harus berupaya untuk mensosialisasikan peran psikolog.