Oleh : Bayu Hermawan, Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Dinamika politik jelang pelaksanaan pemilihan umum presiden (Pilpres) 2024 semakin menarik untuk disimak. Bukan cuma soal siapa yang berpeluang maju sebagai calon presiden, namun partai politik (parpol) semakin gencar kasak-kusuk mencari mitra koalisi.
Berbicara soal siapa tokoh yang punya peluang maju memperebutkan kursi RI-1, boleh dikatakan hampir tiada yang baru, kecuali gimmick-gimmick saja. Toh, hampir semua lembaga survei baik itu yang sudah tenar maupun yang namanya asing ditelinga, menyajikan hasil yang nyaris sama soal elektabilitas capres.
Tiga besar nama tokoh dengan elektabilitas tinggi, dan bisa menjual menjadi Capres, tetap berkisar antara Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. Kalaupun ada yang berbeda, mungkin hanya selisih elektabilitas saja, seperti misal elektabilitas Puan Maharani meroket, atau Sandiaga naik atau Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) melonjak. Tapi tetap saja tiga besar masih dikuasai oleh Prabowo, Ganjar dan Anies.
Meskipun hampir tidak ada yang baru soal elektabilitas tokoh-tokoh, hasil survei itu setidaknya memberikan gambaran bahwa banyak sosok yang bisa diusung menjadi capres. Dibandingkan membahas siapa yang berpeluang bertarung di ajang pilpres, lebih baik membahas mengenai koalisi parpol.
Tingginya presidential threshold, yakni diangka 20 persen, membuat hampir tidak ada satu parpol pun yang bisa mengusung pasangan capres sendiri jika dihitung berdasarkan perolehan suara sah secara nasional pada pemilu 2019 lalu. Namun, jika dihitung berdasarkan perolehan jumlah kursi DPR, maka hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang bisa mengusung capres tanpa perlu berkoalisi.
Kecuali PDIP, parpol-parpol lain harus membentuk koalisi untuk mengusung capres-cawapres. Pergerakan parpol-parpol dalam membangun koalisi menjadi topik yang juga menarik untuk diikuti. Sebab, membangun koalisi bukan hanya sekadar menghitung dan mengabungkan suara hasil pemilu 2019. Di sana, ada lobi-lobi politik bukan cuma membagi siapa yang mendapat jatah capres dan siapa yang mendapat jatah cawapres, atau siapa tokoh yang akan diusung.
Namun juga berhitung mulai dari logistik hingga pembagian kekuasaan jika memenangi pilpres. Simplenya bisa dikatakan "tidak ada yang namanya makan siang gratis" di koalisi pilpres.
Mengacu pada hasil pemilu 2019 lalu, seharusnya minimal bisa ada tiga koalisi parpol yang terbentuk alias ada tiga pasangan capres-cawapres yang bakal bertarung di pilpres 2024. Tiga parpol yang bisa menjadi motor terbentuknya koalisi adalah PDIP, Gerindra dan Golkar. Ketiga parpol ini punya perolehan suara di atas 10 persen hasil pemilu sebelumnya.
PDIP meski bisa mengusung capres-cawapres sendirian, tapi tetap akan mencari mitra koalisi agar lebih kuat bertarung. Sementara Gerindra dan Golkar yang punya 12,57 persen dan 12,31 persen butuh mitra untuk menggenapi ambang batas pencalonan.
Beberapa waktu terakhir, pemberitaan soal parpol-parpol yang sibuk membentuk koalisi semakin ramai menghiasi media-media massa. Tentu saja, ini merupakan hal yang produktif dan baik dibandingkan terus meributkan soal perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Golkar sudah memulai langkah untuk membentuk koalisi Indonesia bersatu bersama PPP dan PAN. Jika digabungkan, total perolehan suara ketiga parpol itu berada diangka 23,67 persen, yang artinya sudah memenuhi aturan presidential threshold.
Langkah yang dilakukan Golkar, PPP dan PAN, sudah tepat. Tinggal bagaimana mereka segera mencari tokoh kuat untuk diusung menjadi capres dan cawapres. Ada baiknya, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) meniru langkah Nasdem, yang meski belum punya mitra koalisi tetapi sudah percaya diri dan berani menyodorkan tiga nama yang bakal diusung menjadi capres, yakni Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Andika Perkasa.
Jika terlalu lama tidak mengumumkan tokoh yang bakal diusung menjadi capres, dikhawatirkan pada akhirnya koalisi ini hanya menjadi 'makelar' suara untuk pilpres saja. Dimana ujung-ujungnya partai-partai tidak mengusung nama capres, tapi hanya memberikan suara pada satu koalisi tertentu saja. Akibatnya hanya akan ada dua pasangan capres di Pemilu 2024.
Sementara Gerindra, beberapa waktu terakhir santer diberitakan sedang mesra dengan PKB. Berkaca pada hasil perolehan suara pemilu lalu, total suara yang dimiliki Gerindra dan PKB, jika jadi berkoalisi, adalah 22,26 persen. Koalisi yang dibentuk Gerindra dan PKB tak butuh banyak tambahan parpol lagi untuk bisa mengusung capres dan cawapres sendiri. Di koalisi ini ada nama Prabowo Subianto, yang punya pengalaman ikut dalam ajang pilpres. Meski masih 'malu-malu' belum memastikan diri untuk maju dan mau diusung lagi, namun kemungkinan besar Prabowo bakal kembali turun ke pertarungan di pilpres mendatang. Sehingga boleh dikatakan koalisi ini tinggal mencari pasangan yang cocok saja untuk Prabowo.
Yang terakhir adalah PDIP. Partai ini sudah memenuhi ambang batas pencalonan capres-cawapres. Mungkin mereka hanya perlu memilih mitra koalisi dan capres yang tepat. Saat ini mereka memiliki dua nama kader yang bisa dijual ke koalisi yakni Ganjar Pranowo dan Puan Maharani.
Seharusnya Pilpres 2024 bisa diikuti lebih dari hanya dua pasangan. Syaratnya jangan sampai tiga parpol yang punya suara besar, PDIP, Gerindra dan Golkar tergoda untuk saling berkoalisi. Jika PDIP berkoalisi dengan Gerindra, besar kemungkinan pilpres hanya bakal diikuti oleh dua pasangan capres saja. Parpol-parpol yang punya suara kecil kemungkinan lebih memilih bergabung dengan koalisi yang paling kuat. Karena mereka ingin menjadi bagian dari pemenang pilpres. Sembari berharap ikut kebagian jatah di pemerintahan mendatang.
Jumlah capres-cawapres lebih dari dua pasangan, selain memberikan rakyat banyak pilihan, sebenarnya juga bisa meredam pembelahan masyarakat. Perseteruan model cebong vs kampret seharusnya tidak terulang di Pilpres 2024. Jadi, semua akan kembali ke parpol, apakah mau membuat pilpres 2024 semarak dengan banyak pasangan calon atau membuat 'rame' pilpres dengan perseteruan dan persaingan yang kontraproduktif.