REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Beberapa studi menunjukkan bahwa pengaturan jarak kelahiran berpengaruh signifikan terhadap stunting pada anak. WHO merekomendasikan agar jarak satu anak dengan anak setelahnya adalah minimal dua tahun sembilan bulan.
Prof Dr dr Dwiana Ocviyanti SpOG(K) MPH mengatakan, pengaruh jarak kehamilan terhadap stunting bisa menimbulkan beberapa risiko. Hal ini termasuk kelahiran dari wanita remaja berusia di bawah 19 tahun.
"(Melahirkan) Kan perlu siap fisik, mental, dan sosial, jadi bukan cuma fisik. Anak perlu diberi ASI eksklusif tapi kalau dari awal anemia, hipertensi, kurang kalori, energi, bukan tidak mungkin membuat pertumbuhan terhambat," kata Prof Dwiana dalam acara aplikasi Tentang Anak bersama BKKBN, Senin (4/7/2022).
Jarak kelahiran anak perlu diatur secara ideal. Prof Dwiana menganjurkan agar ibu yang baru melahirkan anak pertama, tidak kemudian hamil kembali dalam jarak cukup dekat atau biasa disebut kebobolan.
"Ibu kan harus merawat anak sebelumnya jadi potensi kekurangan gizi, ibu kurang tidur, maka terjadi stunting, itu pengaruhnya," lanjut Prof Dwiana.
Prof Dwiana mengatakan, stunting adalah kondisi anak kerdil akibat gagal tumbuh, dimulai dari usia di bawah lima tahun atau balita. Menurut Dwiana, pendek itu hanya penampakan tubuhnya.
Tetapi yang lebih berbahaya bahwa stunting bisa mempengaruhi kehidupan anak. Kemudian berdampak pada kelanjutan generasi, sebab akan berpangaruh jika anak stunting tersebut memiliki keturunan nantinya.
Periode emas anak sudah dimulai sejak janin terbentuk sampai kemudian lahir, terutama hingga usia dua tahun. Dahulu, kata Prof Dwiana, mungkin orang berpikir agar anak pintar dan sehat, maka diberi gizi cukup setelah lahir.
Tetapi justru jika ingin pertumbuhannya maksimal, baik fisik maupun otaknya, justru ada di periode 270 hari masa kehamilan baru kemudian dilengkapi dua tahun pertama setelah kelahiran. Jangan sampai kehilangan momen 1000 hari pertama kelahiran (HPK), karena merupakan pertumbuhan tercepat dan terbaik anak.
"Angka stunting awalnya tiga dari 10, saat ini sudah lebih baik 24 persen tapi tetap tertinggi di Asia Tenggara, masih juara di bawah Timor Leste, kita ingin di level bawah 1-2 persen bahkan tidak ada seperti yang terjadi di Singapura," tambah Dwiana.
Efek stunting bukan hanya terhadap pertumbuhan otak tapi juga mudah sakit. Setiap kali anak sakit, maka otaknya juga berhenti bertumbuh.