Surabaya - Peraturan Daerah (Perda) Jatim tentang Fasilitasi Pengembangan Pesantren, turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 18/2019 tentang Pesantren, menuai berbagai asumsi publik yang salah satunya dapat mengganggu budaya dan kultur santri di dalam pesantren, hingga membelenggu otonomi pesantren.
Menjawab asumsi tersebut, Wakil Ketua DPRD Jatim Anwar Sadad menjelaskan, substansi dari Perda Pesantren itu lebih bersifat pada pemberdayaan pesantren. Artinya membuat pesantren lebih berdaya dengan pengembangan fasilitas dari pemerintah.
"Berdaya berarti pesantren itu kita fasilitasi, dibantu, supaya mereka bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, bisa jalan sendiri, tingkat ketergantungannya kapada yang lain seminimal mungkin,” kata Gus Sadad, Sabtu (30/7/2022).
Keluarga Ponpes Sidogiri, Pasuruan itu menegaskan, Perda Pesantren tidak akan merubah fitrah dari pesantren yang mandiri. Dari catatannya, di Jatim ada kurang lebih enam ribu pesantren, yang hampir seluruhnya mengelola perekonomiannya secara mandiri.
"Ya perlu pengaturanlah, penertiban tata kelola sebenarnya, administratif, ini pondok beneran, onok (ada). Maka dibuat aturan, misalnya apa definisi pesantren itu,” tegas Ketua DPD Gerindra Jatim tersebut.
Definisi pesantren dalam Perda, lanjut Sadad, yakni lembaga pendidikan yang mempelajari secara mendalam ilmu agama, tafaqquh fiddin. Kemudian ada kiainya, ada santri yang mukim. Kalau santrinya tidak mukim maka bukan pesantren namanya, juga ada pengajian kitab.
"Nah diatur, ada kualifikasi, ada ketentuan, sehingga lebih ke arah pembinaan sebenarnya, adminsitratif. Bukan untuk membuat mereka bergantung pada negara. Kalau pesantren se-Indonesia bergantung pada negara, buyar negaranya," tandas kandidat Doktor UIN Sunan Ampel Surabaya itu.