Ahad 14 Aug 2022 04:57 WIB

Fidyah Dibayar Sekaligus dan Fidyah dengan Uang

Fidyah Dibayar Sekaligus dan Fidyah dengan Uang

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Fidyah Dibayar Sekaligus dan Fidyah dengan Uang - Suara Muhammadiyah
Fidyah Dibayar Sekaligus dan Fidyah dengan Uang - Suara Muhammadiyah

Fidyah Dibayar Sekaligus dan Fidyah dengan Uang

Tanya:

Saya seorang perempuan lanjut usia (80 tahun lebih). Saya merasa tidak kuat menjalankan ibadah puasa, karena apabila saya berpuasa badan saya menjadi sangat lemah dan bisa sakit. Saya berkeinginan membayar fidyah.

Tetapi kata orang di kampung saya, fidyah harus dibayar setiap hari dan tidak boleh dibayar sekaligus, serta harus dalam bentuk makanan dan tidak boleh dalam bentuk uang. Saya tidak mampu menyiapkan makanan dan mengantarkannya kepada fakir miskin setiap hari karena tempat yang agak jauh dan karena usia saya yang sudah sangat lanjut.

Pertanyaannya: Apa memang tidak boleh dibayarkan sekaligus baik di depan atau di belakang untuk orang dalam kondisi seperti saya? Dan apa memang harus dalam bentuk makanan dan apa tidak boleh dalam bentuk uang? Terima kasih atas perhatiannya.

Hj. Maryam, Midai, Kepri pertanyaan disampaikan lewat telpon, tanggal 4 Ramadan 1431 H

(disidangkan [ada hari Jum’at, 17 Ramadan 1431 H / 27 Agustus 2010 M)

Jawab:

Pertama-tama disampaikan terima kasih kepada Ibu Hj. Maryam atas pertanyaanya. Puasa Ramadan adalah salah satu kewajiban agama yang difardukan atas setiap orang mukmin dewasa baik laki-laki maupun perempuan, dan puasa Ramadan itu merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima yang wajib dijalankan. Tujuan ibadah puasa itu adalah sebagai sarana pendidikan untuk membentuk manusia yang bertakwa dan sekaligus sebagai wujud ketaatan kepada Allah swt.

Namun demikian Allah SWT di dalam al-Quran memberi perkecualian dari kewajiban melaksanakan puasa Ramadan atas orang-orang tertentu yang karena suatu atau lain sebab tidak bisa melaksanakan kewajiban tersebut. Perkecualian ini diberikan sesuai dengan prinsip agama Islam itu sendiri bahwa agama ini bertujuan untuk memberi rahmat kepada manusia [Q. 21: 107] dan tidak bertujuan mempersulit manusia [Q. 5: 6; 22:78]. Bahkan dalam ayat puasa sendiri ditegaskan bahwa prinsip pelaksanaan puasa itu adalah memudahkan sebagaimana firman Allah,

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ [البقرة : 185]

Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu [Q. 2: 185].

Atas dasar itu kepada orang-orang tertentu diberi keringanan (rukhsah) dalam menjalankan ibadah tersebut. Orang-orang yang mendapat keringanan itu adalah:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ [البقرة: 184]

Artinya: Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan atas orang-orang yang berat menjalankannya wajib membayar fidyah (jika mereka tidak berpuasa), yaitu: memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu adalah lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui [Q. 2: 184].

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ [البقرة : 184]

Artinya: Dan wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya membayar fidyah (jika mereka tidak berpuasa), yaitu: memberi makan seorang miskin [Q. 2: 184].

Dalam Tafsir al-Manar ditegaskan bahwa al-ladzina yuthiqunahu berarti orang-orang yang amat berat dan amat sulit menjalankan puasa meskipun jika dipaksakan bisa dilakukan tetapi dengan masyaqqah (keadaan berat) yang besar (Juz II: 126]. Arti ini meliputi orang-orang tua yang lemah, orang sakit menahun, pekerja berat di pertambangan, kuli pelabuhan, tukang becak, supir kenderaan besar jarak jauh, termasuk wanita hamil dan menyusui.

Mereka diberi rukhsah (keringanan) untuk tidak berpuasa tetapi diwajibkan menggantinya dengan membayar fidyah. Akan tetapi, sesuai dengan akhir ayat 184 al-Baqarah yang dikutip di muka, jika mereka ini mengupayakan untuk berpuasa, maka hal itu lebih baik. Jika seandainya mereka miskin sehingga tidak mampu membayar fidyah, maka tidak ada kewajiban membayar fidyah, sesuai dengan firman Allah,

لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا [البقرة: 286]

Artinya: Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya [Q. 2: 286].

Mengenai cara membayar fidyah, apakah boleh dilakukan sekaligus saja atau diecer dengan cara membayar setiap kali tidak berpuasa Ramadan, maka sesungguhnya tidak ada ketentuan bahwa wajib dibayar secara diecer setiap hari tidak puasa. Karena itu boleh dilakukan pembayaran fidyah secara sekaligus baik sejak saat mulai tidak puasa di bulan Ramadan maupun setelah selesai seluruh bulan Ramadan karena itu lebih memudahkan sesuai dengan firman Allah dalam Q. 2: 185 yang telah dikutip di atas dan dalam firman Allah,

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ [الحج: 78]

Artinya: Dan tiadalah Dia (Allah) membuat kesulitan bagimu dalam (manjalankan) agama [Q. 22: 78].

Fatwa dari Lajnah Daimah dari Arab Saudi juga membolehkan membayar fidyah secara sekaligus sebagaimana boleh juga membayarnya secara diecer setiap hari tidak puasa.

Demikian pula, sesuai zahir ayat 184 al-Baqarah di atas, boleh seluruh fidyah itu diberikan kepada satu orang miskin saja atau, bilamana fidyah berupa memberikan makanan, boleh diberikan dalam satu hari saja kepada sejumlah orang miskin sesuai jumlah hari tidak berpuasa (memberi makanan satu hari saja untuk 30 orang miskin karena membayar fidyah puasa 30 hari).

Menurut Syaikh Usaimin pandangan ini dianut oleh kebanyakan ulama Syafi’iah, Hanabilah, dan sejumlah ulama Malikiah. Ibn Muflih (w. 763/1362) dalam Kitab al-Furu’ (IV: 448) dan Ibn al-Mardawi (w. 885/1480) dalam kitab al-Insaf (III: 291), keduanya dari mazhab Hanbali, menegaskan, “Boleh menyalurkan pemberian makan kepada satu orang miskin secara sekaligus.” Artinya seluruh fidyah diberikan kepada satu orang miskin saja. Penegasan yang sama juga dikemukakan oleh Imam an-Nawawi (w. 676/1277), seorang ulama Syafi’iah, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin (II: 246).  Al-Bahuti (w. 1046/1636) dalam Kasysyaful-Qina’ mendasarkan kebolehan tersebut kepada zahir ayat fidyah 184 al-Baqarah di atas.

Seperti halnya memberikan seluruh fidyah boleh kepada satu orang, maka boleh pula memberikan fidyah, bila dalam bentuk makanan siap santap, kepada tiga puluh orang miskin dalam satu hari saja, sesuai dengan zahir ayat fidyah di atas, juga sesuai dengan yang dipraktikkan oleh Sahabat Anas Ibn Malik r.a., salah seorang Sahabat Nabi saw yang ketika di usia tua tidak mampu lagi berpuasa, lalu beliau mengundang makan 30 orang untuk satu hari saja. Asar ini diriwayatkan oleh Ibn Mullas (w. 270/883) dalam Suba’iyyat Abi al-Ma’ali, h. 18).

Adapun mendahulukan fidyah sebelum masuknya bulan Ramadan tidak dapat dibenarkan karena fidyah itu adalah pengganti dari suatu kewajiban yang tidak dapat dilaksanakan karena uzur tetap. Sementara puasa Ramadan sendiri, sebelum masuknya bulan Ramadan, belum wajib dilaksanakan, jadi belum ada kewajiban sehingga karenanya tidak mungkin ada fidyah pengganti kewajiban.

Mengenai wujud fidyah yang dikeluarkan dapat berupa (1) makanan siap santap seperti dilakukan oleh Anas Ibn Malik r.a. dalam riwayat Ibn Mullas di atas, (2) bahan pangan seperti gandum, cantel, tamar, atau beras. Hal ini difahami dari keumuman kata tha’am (makanan) di dalam ayat fidyah (Q. 2: 184) di atas. Di dalam hadis-hadis Nabi saw kata tha’am dipakai dalam dua makna, yaitu makanan siap santap dan bahan pangan. Dalam hadis riwayat Muslim Nabi saw bersabda,

إذا دُعِيَ أحدكم إلى طَعَامٍ فَلْيُجِبْ

Artinya: Apabila seseorang kamu diundang makan (tha’am), maka hendaklah ia memenuhinya (HR Muslim, Sahih Muslim, II: 1054).

Dalam hadis ini kata tha’am berarti makanan siap santap. Sementara itu dalam hadis lain kata tha’am berarti bahan pangan, misalnya dalam hadis Abu Hurairah,

عن أبي هُرَيْرَةَ قال مَرَّ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِرَجُلٍ يَبِيعُ طَعَامًا فَأَدْخَلَ يَدَهُ فيه فإذا هو مَغْشُوشٌ فقال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ليس مِنَّا من غَشَّ [رواه ابن ماجه]

Artinya: Dari Abu Hurairah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw lewat pada seorang penjual bahan pangan (tha’am), lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam bahan pangan itu, ternyata tipuan. Lalu Rasulullah saw berkata: Tidak termasuk umat kami orang yang melakukan penipuan (HR Ibn Majah). 

Dalam hadis ini dan banyak hadis lainnya kata tha’am berarti bahan pangan. Jadi oleh karena itu fidyah dapat diberikan dalam bentuk makanan jadi atau dalam bentuk bahan pangan. Yang dimaksud dengan bahan pangan di sini adalah bahan pangan yang berupa makanan pokok seperti gandum, cantel atau tamar. Di Indonesia bahan pangan pokok adalah beras, yang dibayarkan sebanyak 6 ons untuk satu hari meninggalkan puasa karena tidak mampu berpuasa.

Dapatkah fidyah dibayarkan dalam bentuk uang senilai bahan pangan? Mengenai pembayaran fidyah dengan uang, maka terdapat perbedaan pendapat ulama. Fatwa Lajnah Daimah dari Arab Saudi dengan mufti Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn Baz tidak membolehkan membayar fidyah dalam bentuk uang. Tetapi fatwa itu tidak menjelaskan alasannya. Fatwa itu hanya berbunyi singkat, “Tidak memenuhi ketentuan apabila engkau membayar fidyah dengan uang sebagai ganti memberi makan.”

Fatwa-fatwa lain seperti fatwa dari al-Azhar yang diberikan oleh Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf dan fatwa dari Dar al-Ifta yang dikeluarkan oleh Syaikh Muhammad ‘Ali Jum’ah dan fatwa dari Komisi Fatwa Kuwait membolehkan membayar fidyah dengan uang. Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf dalam salah satu fatwanya menegaskan bahwa, “Apabila sakitnya tidak dimungkinkan untuk sembuh lagi, maka wajib atasnya membayar fidyah seperti halnya orang tua yang lemah … … … dan fidyah itu adalah memberi makan dua kali kepada satu orang miskin atau memberi bahan pangan seperti gandum setengah sha’ atau membayar nilainya (dengan uang).” Dalam fatwa ini disebut memberi makan orang miskin dua kali dikarenakan dalam satu hari orang makan sekurang-kurangnya dua kali.

Dilihat dari segi sifat likuid dari uang sehingga lebih luwes dapat digunakan untuk kebutuhan yang diprioritaskan oleh orang miskin, maka menurut kami pendapat yang membolehkan pembayaran fidyah dengan uang adalah lebih rajih. Ulama-ulama Hanafi ketika membolehkan memberikan zakat fitrah kepada orang miskin dalam bentuk uang beralasan bahwa uang lebih likuid sifatnya dan lebih luwes penggunaannya. Selain itu juga karena alasan bahwa zakat fitrah dan juga fidyah adalah kewajiban yang terletak dalam zimmah, bukan kewajiban kehartaan yang dikaitkan kepada jenis harta tertentu. Atas dasar itu kami berpendapat bahwa pembayaran fidyah dalam bentuk uang adalah sah dan memenuhi ketentuan perintah fidyah.

Dalam fatwa Majelis Tarjih yang termuat pada buku Tanya Jawab Agama, jilid 2: 126-128, ketika menjawab pertanyaan tentang kebolehan membayar zakat fitrah dan fidyah dengan uang, diuraikan panjang lebar arti kata tha’am dalam ungkapan tha’am al-miskin yang disebutkan dalam al-Quran. Menyarikan uraiannya yang panjang, fatwa itu menegasakan,

Ringkasnya, pengertian tha’am dalam pengertian bahasa, pengertian dalam al-Quran maupun dalam Hadis mempunyai beberapa arti. Dapat berarti makanan, baik yang mentah maupun yang matang. Dapat pula berupa suatu pemberian yang dapat digunakan untuk memberikan santunan terhadap keperluan hidup fakir/miskin, seperti uang [h. 128].

Akan tetapi dalam kesimpulan kurang diberi penegasan mengenai boleh atau tidak boleh memberikan fidyah dalam bentuk uang. Fatwa itu menyatakan, “Kesimpulannya membayar fitrah dan fidyah, bagi yang tidak mampu melaksanakan puasa, yang utama dibayar dengan memberikan makanan yang masih mentah seperti beras dan sesamanya yang menjadi makanan harian si pembayar” [h. 128].

Oleh sebab itu, dalam fatwa yang sekarang ini dipertegas kebolehan membayar fidyah dalam wujud uang berdasarkan alasan seperti telah dikemukakan di atas.

Uraian panjang di atas, menyangkut pertanyaan yang diajukan, dapat diringkas sebagai berikut:

Wallahu a’lam bish-shawab

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 21 Tahun 2010

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْاٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

(QS. Al-A'raf ayat 27)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement