REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ina Salmah Febriani
‘Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah,’ (Qs. 30/ 21)
Tergetar setiap hati ketika mendengar lantunan ayat suci yang kerap dibacakan pada hari Maulid Nabi. Hari ini, ribuan tahun yang lalu manusia agung terlahir ke bumi. Manusia luhur pemilik keteladanan sejati. Uswatun hasanah atau suri teladan yang baik, demikian Al-Quran mematri.
Bukan tanpa alasan, sebab hampir setiap fase-fase hidup Rasulullah seluruhnya memiliki nilai kebaikan tak terperi. Tak heran, Musthafa as-Siba’i menyebut, baginda Rasulullah ialah nabi yang memiliki kekhasan tersendiri karena peristiwa hidup hingga wafatnya masih dapat kita telusuri melalui Al-Quran, hadits juga tentu melalui karya-karya Sirah Nabawi.
Sirah nabawiyah menjadi kitab yang membantu kita untuk lebih mengenal pribadi Nabi. Sirah nabawiyah diriwayatkan oleh para sahabat kepada orang setelah mereka. Sebagian dari mereka fokus menyelidiki sejarah Rasulullah dengan detail dan terperinci.
Setelah itu, mereka saling menceritakan berita-berita ini dan mencatat sekaligus menghimpunnya pada lembaran yang mereka miliki. Sebagian dari mereka yang berkonsentrasi menaruh perhatian pada sirah nabawiyah secara total, seperti Aban bin Utsman bin Affan (32-105H) dan Urwah bin az-Zubair bin ‘Awam (23-93 H).
Perhatian pada sirah nabawiyah terus berlanjut hingga ke generasi berikutnya. Sebut saja misalnya As-Sirah an-Nabawiyah yang diriwayatkan oleh Ibn Hisyam dari Ibn Ishaq melalui guru Ibn Hisyam yaitu al-Buka’i yang termasuk murid Ibn Ishaq yang paling terkenal.
Selain karya Ibn Hisyam, masih banyak lagi ulama-ulama yang menulis tentang sejarah Nabi seperti Thabaqat Ibn Sa’ad (Muhammad bin Sa’ad bin Mani’ Az-Zuhri 168H- 230 H), Tarikh at-Thabari (Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari 224- 310 H), juga ulama yang menulis sirah nabi secara spesifik misal Dala’il an-Nubuwah (Al-Ashbahani), juga Asy-Syama’il Muhammadiyah (at-Tirmidzi), Zaad al-Ma’ad (Ibn Qayyim al-Jauziyah) dan banyak lagi.
Dari sekian banyak Sirah Nabi yang telah disebutkan di atas hampir seluruhnya menggambarkan luhurnya pribadi Nabi terkhusus ketika beliau hijrah pertama kali ke Thaif. Menurut Thabaqat Ibnu Sa'ad, peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW ke Thaif terjadi pada Bulan Syawal tahun kesepuluh kenabian bertepatan dengan bulan Mei akhir atau awal Juni tahun 619 Masehi.
Thaif dipilih oleh Nabi sebab beliau memiliki kenangan manis masa balita di Thaif di bawah asuhan ibu susuan beliau Halimah as-Sa’diyah. Bahkan, kota yang berjarak kurang lebih 65mil dari kota Makkah ini ialah salah satu kota yang diistimewakan oleh Allah. Nabi berharap bisa lebih aman dan tenang tinggal di Thaif dan dapat menyampaikan risalah Islam dengan leluasa.