Jumat 25 Nov 2022 23:29 WIB

Polemik Pemilihan Rektor PTKIN, Tawaran Jalan Keluar

Pemilihan rektor PTKIN oleh menteri agama menuai polemik

Kampus UIN Jakarta. Pemilihan rektor PTKIN oleh menteri agama menuai polemik
Foto: Musiron/Republika
Kampus UIN Jakarta. Pemilihan rektor PTKIN oleh menteri agama menuai polemik

Oleh: A Fahrur Rozi*

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Pemilihan Rektor di lingkungan kampus PTKIN kembali menuai problematik. Beberapa pihak menilai, sistem pemilihan Rektor oleh Menteri Agama (Menag) adalah suatu pembodohan politik dan pembungkaman demokrasi.

Baca Juga

Adalah Saiful Mujani, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada beberapa hari yang lalu memberikan kritik keras dan bernas terhadap sistem pemilihan tersebut. Dia menyebut sistem pemilihan Rektor oleh Menag adalah praktik jahiliyah yang tidak beradab. 

 

Jelang beberapa hari dari kritik Saiful Mujani yang disorot media itu, Dirjen Pendidikan Islam M Ali Ramdhani angkat bicara menyambut kritik dari Pendiri Lembaga Riset SMRC itu. Kondisi ini tentu menarik perhatian dan perbincangan ulang. 

 

Menarik perhatian karena instrumen kewenangan pengangkatan Rektor oleh Menag menuai kritik kembali mendekati adanya suatu momentum suksesi rektorat salah satu kampus, dan menarik perbincangan ulang sebab akan menguji nalar regulasi dalam lensa sistem-struktural demokrasi kampus. 

 

Mekanisme empat tahap

 

Dalam mekanisme aturan pengangkatan Rektor yang tertuang dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Agama Nomor (PMA) 68 Tahun 2015, dikatakan ada empat tahapan yang harus ditempuh, mulai dari penjaringan bakal calon, pemberian pertimbangan, seleksi, dan penetapan. 

Tahap penjaringan bakal calon ini dilakukan panitia yang dibentuk berdasarkan keputusan dari pihak Rektor yang masih menjabat. Tahap ini dilakukan secara terbuka bagi yang mencukupi syarat kelayakan sebagaimana disebut dalam Pasal 3 tentang syarat pencalonan.

 

Kemudian, hasil penjaringan itu diserahkan kepada Dewan Senat untuk mendapatkan pertimbangan secara tertutup meliputi gagasan kepimimpinan dan kondisi faktual.

Hal ini seperti prestasi, jaringan, penelitian, dan pengabdian yang telah diberikan baik di lingkungan kampus maupun kepada khalayak umum. Kemudian hasil pertimbangan ini diberikan kepada Menag melalui Rektor yang menjabat.

 

Tahap selanjutnya dilimpahkan kepada Komisi Seleksi yang dibentuk oleh Menag. Komisi ini berjumlah ganjil dengan jumlah minimal beranggotakan tujuh orang.

Komisi ini bertugas untuk melakukan verifikasi faktual, uji kelayakan dan kepatutan terhadap hasil penjaringan bakal calon dan sudah mendapat pertimbangan dari Senat kampus.

Dalam tahap ini, Komisi Seleksi dituntut mengeluarkan tiga nama untuk diserahkan dan ditentukan oleh Menag itu sendiri. 

Baca juga: Dulu Anggap Islam Agama Alien, Ini yang Yakinkan Mualaf Chris Skellorn Malah Bersyahadat 

 

 

Tahap yang terakhir adalah penetapan Rektor yang dilakukan Menag terhadap tiga nama calon yang telah diajukan oleh Komisi Seleksi.

 

Diskursus problematik

 

Hal yang menjadi problematik dari sistem pemilihan Rektor adalah kewenangan Menag dalam menentukan siapa Rektor yang akan menjabat nantinya. 

 

Kewenangan Menag ini didapat dari PMA Nomor 68 Tahun 2015 yang menghapus PMA Nomor 45 Tahun 2006 di mana Rektor ditetapkan berdasarkan mekanisme dan keputusan dari Senat kampus. Setidaknya terdapat dua argumentasi yang diajukan dalam diskurusus polemik ini.

 

Pertama, pihak yang kontra dengan instrumen kewenangan Menag. Kritik yang diluncurkan Saiful Mujani dan pihak yang serumpun dengannya ini diterminkan dengan kritik “mekanisme feodalistik”. 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement