Oleh : Abdullah Sammy, Wartawan Republika
REPUBLIKA.CO.ID,
Sulit mendeskripsikan bagaimana luar biasanya laga final Piala Dunia 2022 antara Argentina kontra Prancis. Ibarat sedang menonton film yang penuh dengan plot twist.
Sekitar empat miliar orang, termasuk pendukung Prancis sendiri, rasanya sudah pasrah ketika melihat timnya didominasi Argentina selama 79 menit pertandingan. Keunggulan dua gol Argentina lewat penalti Lionel Messi dan Angel D Maria seakan sudah hampir paripurna menutup jalannya final sepanjang 90 menit.
Saat semua mengira Prancis sudah habis, maka sepak bola seolah memberi pelajaran. Seperti yang pernah dikatakan seorang filsuf Prancis yang pernah mengawali karier sebagai kiper, Albert Camus, yang berujar bahwa pelajaran moral terbaik ada di sepak bola. Pelajaran itu adalah tak ada yang tidak mungkin sebelum peluit panjang ditiup wasit.
Seperti judul lagu Lanny Kravitz, "its not over until its over." Hanya dalam tempo 1 menit 36 detik, Prancis mampu menyamakan kedudukan 2-2 lewat dua gol Kylian Mbappe. Laga pun berlanjut ke babak tambahan.
Di ekstra time, gol Messi pada menit ke-110 membangkitkan kembali prasangka bahwa laga telah milik Argentina. Lagi-lagi, Mbappe menghadirkan plot twist. Penalti pemain yang sering dijululi kura-kura ninja itu menyamakan kedudukan 3-3 di saat laga tinggal menyisakan hitungan menit.
Saat detik paling ujung di pertandingan, penyerang Prancis Kolo Muani terlepas sendiri di depan gawang Argentina. Gawang yang terbuka begitu lebar itu menyisakan kiper Argentina, Emiliano Martinez, berdiri sendiri.
Momen pada menit ke-123 itulah yang jadi saat paling pamungkas bagi Prancis untuk memastikan gelar Piala Dunia 2022 milik mereka. Namun kali ini plot twist berpihak ke Argentina. Secara ajaib, peluang Prancis yang 90 persen mutlak menjadi gol itu gagal. Martinez mampu menahan bola dengan kaki kirinya. Itulah momen yang barang kali menjadi paling krusial sepanjang laga.
Tanpa penyelamatan itu, laga berakhir untuk kemenangan Prancis. Laga yang berlanjut ke drama adu penalti pun dimenangkan Argentina dengan skor akhir 7-5. Gelar juara dunia jadi milik Argentina.
Seusai laga, hampir seluruh penonton, baik yang hadir langsung di Stadion Lusail maupun yang hadir di pos hansip terdekat, setuju bahwa inilah laga final Piala Dunia terbaik. Bahkan bisa dilabeli salah satu laga sepak bola terbaik sepanjang masa.
Alasannya karena laga penuh drama. Saling balas membalas gol. Penuh momen yang menjukirbalikkan perkiraan.
Komentator pertandingan Peter Drury pun berujar; "The best world cup final ever!" kata Drury. "The best ever final world cup nih," ucap eks Presiden Inter Milan Erick Thohir yang menyaksikan langsung laga di Doha.
Tak hanya kisah yang penuh plot twist, laga final juga menghadirkan kisah bak dongeng happy ending bagi seorang Lionel Messi. Penantian panjang Messi meraih gelar Piala Dunia terwujud di kesempatan terakhirnya tampil di Piala Dunia.
Messi seolah bermain bersama beban sejarah yang begitu besar. Sebelum laga ini dimulai, Messi memang hanya dihadapkan pada dua kemungkinan, yakni pensiun dengan cara paling hebat atau paling tragis? Sepanjang 120 menit, jawaban dari dua kemungkinan itu seolah terus berubah.
Hebatnya, walau laga penuh drama yang membuat nyaris seluruh pemain pucat pasi, ekspresi Messi tampak konsisten. Tidak ada suatu yang berlebihan. Padahal Messi ibarat seorang yang sedang bermain sambil mempertaruhkan segala hal yang dimilikinya. Pertaruhan yang bisa membuat dia terbang ke langit tertinggi atau jatuh ke dasar jurang.
Di sinilah kualitas sejati Messi terlihat. Kekuatan yang terletak di mental dan kepercayaan diri.
Mental Messi yang luar biasa sudah diasah sejak laga pertama putaran grup Piala Dunia 2022. Awalnya, semua mengira Messi hanya akan menjadi turis singkat di Qatar. Ini setelah Argentina kalah 1-2 dari Arab Saudi pada laga pembuka.
Saat itu, semua mem-bully Messi yang dinilai tak berdaya menghadapi tim sekelas Arab. Tapi lagi-lagi, sepak bola memberi pelajaran moral penting. Semua belum berakhir sampai benar-benar berakhir.
Messi memang punya riwayat mampu bangkit dari situasi sulit. Dimulai dari kebangkitan Messi melawan kelainan hormon yang membuatnya mesti menjalani suntik hormon sejak usia 11 tahun. Messi pun bisa melawan home sick-nya ketika tinggal puluhan ribu kilometer dari keluarga saat usianya masih 12 tahun. Tantangan sulit sejak kecil itulah yang membentuk karakter petarung di diri Messi.
Bagi Messi perjuangan sudah menjadi seni dalam hidupnya. Dan sebagai seorang seniman, Messi tak sekadar memikirkan mimpi di kepala tapi menuangkannya. Ibarat pelukis yang menuangkan tinta kehebatan di atas lapangan hijau. "Kamu harus berjuang untuk mewujudkan mimpimu. Mesti berkorban dan bekerja keras untuk mimpi itu," ujar Messi ketika diwawancarai salah satu stasiun televisi.
Namun Messi tetaplah manusia biasa. Semangat, mimpi, dan karakter petarung itu nyaris sirna akibat kekecewaan besar pada 2014 dan 2016. Kala itu, Messi merasakan dua kegagalan beruntun di final Piala Dunia 2014 dan Copa America 2016.
Saking kecewanya Messi sempat memutuskan gantung sepatu dari timnas Argentina. Beruntung Messi berhasil dibujuk Jorge Sampaoli untuk mengurungkan keputusannya pensiun pada Piala Dunia 2018. Sejak itu Messi seolah membangun kembali puing mimpinya yang sempat hancur berantakan.
Puing harapan dan mimpi itu akhirnya terwujud di Qatar. Selebrasi Messi mengangkat tropi Piala Dunia tak hanya menobatkan Argentina sebagai kampiun. Lebih dari itu momen itu menjadi penahbisan seorang Messi. Tak ada lagi perdebatan soal siapakah yang layak menjadi GOAT, alias the greatest all time. Dengan kesuksesan Messi memenagi seluruh trofi, dia pun kini menjadi abadi.
Ibarat seni, tubuh Messi boleh berhenti belari, tapi tinta emas perjalan kariernya di sepak bola bakal melegenda. Layaknya kata yang yang disampaikan pelukis abad pertengahan, Leonardo Da Vinci. "Keindahan fisik memang akan lenyap, tapi keindahan seni akan abadi." Keindahan Lionel Messi.