Selasa 10 Jan 2023 23:11 WIB

Runtuhnya Wibawa Mahkamah Konstitusi

Indonesia tidak dapat dilepaskan dari salah satu keinginan saat era reformasi.

Sebuah instalasi seni dari Gerakan #BersihkanIndonesia terpasang di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga
Sebuah instalasi seni dari Gerakan #BersihkanIndonesia terpasang di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Cecep Suhardiman, Dosen Pasca Sarjana Ilmu Hukum UTA’ 45 Jakarta

Kehadiran Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari salah satu keinginan saat era reformasi melalui pembahasan tentang perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI Tahun 1945). UUD NRI Tahun 1945 merupakan konstitusi tertulis dan sebagai hukum tertinggi (the supreme law of the land) mengimplementasikan suatu gagasan konstitusionalisme yang pada pokoknya menyatakan, negara sebagai suatu organisasi kekuasaan yang harus dibatasi dalam menjalankan kekuasaannya supaya tidak terjadi kesewenang-wenangan oleh negara itu sendiri terhadap rakyat. Karena itu, untuk mencegah hal ini terjadi, konstitusi menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa konstitusional guna menegakkan hukum dan keadilan dalam kehidupan bernegara.

 

Salah satu hasil Amanademen UUD NKRI Tahun 1945 pada BAB IX Tentang Kekuasaan Kehakiman: Pasal 24 (1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yg merdeka untuk menyelenggarakan  peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang baru yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Ada empat (4) Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur Undang-Undang yaitu :

• Menguji undang-undang terhadap UUD 1945.

• Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

• Memutus pembubaran partai politik.

• Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Saat ini yang sangat menarik perhatian publik adalah penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Keja yang diterbitkan tanggal 30 Desember 2022 sebagai respon atas  Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 91/PUU-XVIII/2020 dibacakan dalam sidang putusan yang digelar pada Kamis (25/11/2021), yang mengabulkan untuk sebagian permohonan uji formil atas UU No.11 Tahun 2020 Tentang: Cipta Kerja. Majelis Hakim Konstitusi menegaskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) cacat secara formil.

Untuk itu, Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja Inkonstitusional bersyarat, sehingga diberikan waktu bagi Presiden dan DPR RI untuk melakukan perbaikan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja selama 2 (dua) tahun sejak putusan Mahkamah Konstitusi sampai dengan 25 November 2023.  

Saya berpendapat penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja, jelas melanggar Undang-Undang dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Bahwa terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang diberikan kewenangan dalam Kekuasaan Kehakiman (lembaga Peradilan) berlaku asas  “res judicata pro veritate habetur” dengan arti “putusan hakim harus dianggap benar sebelum ada putusan yang menyatakan sebaliknya”, di mana putusan dijatuhkan, dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Prinsip ini menempatkan sang hakim sangat penting dalam proses penegakan hukum di negeri ini, sehingga atas Putusan MK itu perbaikan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja harus dilaksanakan sesuai mekanisme pembahasan perundang-undangan dan bukannya presiden menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2022.

2. Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam melakukan Judicial Review (Uji Materi) adalah menguji undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang dasar sehingga secara hierarki yang diuji adalah lebih tinggi dari undang-undang sehingga berlaku asas (lex superiori derogate lex imperiori). Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengoreksi undang-undang yang di uji materi adalah putusan lembaga peradilan yang harus dilaksanakan apalagi mekanisme hukum acara di Mahkamah Konstitusi adalah Final & Binding (Terakhir dan Mengikat) sehingga tidak ada upaya hukum, jadi harusnya tetap melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi dan bukannya menerbitkan Perppu.

3. Bahwa syarat diterbitkannya Perppu oleh presiden adalah adanya kegentingan, keadaan yang mendesak (overmach) dan kekosongan hukum. Dari ketiga syarat tersebut tidak ada satupun yang terpenuhi, karena tidak ada kegentingan, tidak ada keadaan yang memaksa dan tidak ada kekosongan hukum, untuk memperbaiki undang-undang No. 11 tahun 2020 tentang cipta kerja masih ada waktu sampai dengan tanggal 25 November 2023.

4. Bahwa pemerintah dan DPR RI sebetulnya sudah memulai arah perbaikan UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja sebagaimana yang diperintahkan dalam putusan MK kepada pembuat undang-undang (pemerintah dan DPR RI) yaitu pemerintah dan DPR RI beberapa waktu yang lalu telah membahas untuk merevisi dan kemudian mengesahkan UU No. 13 Tahun 2022 yang merupakan perubahan kedua dari UU No. 12 Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disalah satu pasal UU No. 13 Tahun 2022 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Setelah Bagian Keenam Bab IV ditambahkan I (satu) bagian, yakni Bagian Ketujuh sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Ketujuh Perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan Metode Omnibus. Di antara Pasal 42 dan Pasal 43 disisipkan I (satu) pasal, yakni Pasal 42A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42A Penggunaan metode omnibus dalam penyusunan suatu Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus ditetapkan dalam dokumen perencanaan menyatakan bahwa pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi.

Dengan demikian perbaikan sebagaimana diperintahkan dalam putusan MK tersebut sebetulnya sudah dimulai, tetapi secara tiba-tiba pada tanggal 30 Desember 2022 beredar informasi yang menyampaikan Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja yang menggantikan berlakunya Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, sehingga dengan dikeluarkannya Perppu tersebut meruntuhkan wibawa Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardian Of Constitusion karena penerbitan Perppu tersebut melanggar hukum.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement