Oleh: Rusdian Lubis, Penulis Senior
Setelah dhuhur, sekitar pukul 14.00 saya bertolak dari St. Catherine di kaki Gunung Sinai utara menyisir pantai Laut Merah ke arah kota Taba—perbatasan Mesir dan Israel. Pemandangan sepanjang jalan hanya batu dan pasir gurun, diselingi perkampungan suku Bedouin dan check point militer.
Setelah makan siang di Movenpick hotel, dari kota Taba saya akan menyeberang ke Israel, ke kota Eilat di Gurun Negev, sebelah utara Sinai.
Kabarnya, Nabi Musa As juga membawa Bani Israel melewati daerah Nuweiba yang dipercaya sebagai penyeberangan dalam Exodus. Saya akan menulis khusus tentang “the Crossing” ini.
Setelah melewati check point atau Egyptian custom office, penyiksaan atau ordeal mulai. Inilah border crossing yang paling menegangkan dan membosankan yang pernah saya alami.
Catatan: border crossing yang tak kalah menegangkan saya alami di Uganda utara, tahun 2001.
Proses exit dari Mesir perlu hampir 1 jam pemeriksaan bagasi dan pasport sebab hanya dilayani oleh satu counter! Sedangkan ribuan orang keluar masuk antara Taba, Mesir dan Eilat, Israel.
Kebanyakan adalah peziarah atau pilgrim ke Tanah Suci ( Holy Land) di Jerusalem yang datang dari Philippine, Uganda, Srilanka dll.
Lepas dari imigrasi Mesir, saya bererot antre sekitar 500 m ditengah suhu 33 derajat ke arah pintu kompleks imigrasi Israel.
Ada tiga check points : check kelengkapan pasport sambil menyeret bagasi lewat pintu sempit, kemudian persiapan bagasi sebelum masuk scanner, perlu waktu 1 jam. Terakhir adalah scanning bagasi dan menunggu mendapatkan visa khusus untuk Indonesia, juga sekitar 1 jam.
Ditambah menunggu ini itu, total hampir 4.5 jam saya lewatkan untuk custom clearance masuk Israel!
Untung Nabi Musa as dan Bani Israel tidak mengalami itu, barangkali Nabi yang dikenal gagah berani, emosional dan perkasa seperti Bima akan menghantam kantor imigrasi dengan tongkatnya.
Keluar dari imigrasi, saya masuk kota turis Eilat yang rapi dan bersih. Kota ini ditepi Teluk Aqaba yang indah dan ditepi ujung Jalur Gaza. Eilat dulu adalah milik Palestina.
Malam ini, kota kecil itu penuh lampu hias warna warni. Tanggal 19 April adalah ultah Israel. "Hari kesedihan buat Palestina", kata Nessir pemandu wisata kami.
Saya tulis jurnal ini dalam perjalanan Eilat- Jerusalem sekitar 4 jam melalui gurun Negev luas dan gelap gulita. Sejak jam 2 siang hanya minum kopi Amungme Gold dan crackers, believe or not, saya kangen nasi bungkus kapau. Tak malu saya disebut panasbung.