Oleh : Hasanul Rizqa, Redaktur Republika.
REPUBLIKA.CO.ID, Kehebohan sempat mewarnai suka cita perayaan Idul Fitri 1444 Hijriyah lalu. Publik gempar karena seorang yang berprofesi sebagai peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menulis kecaman dan sekaligus ancaman kepada kelompok masyarakat tertentu. Andi Pangerang Hasanuddin (APH), periset yang dimaksud telah ditangkap Bareskrim Polri awal pekan lalu, Senin (1/5/2023). Ia dijerat Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) dan/atau pasal 29 jo pasal 45B Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pria asal Jombang Jawa Timur tersebut dilaporkan LBH Muhammadiyah karena komentarnya di media sosial yang mengancam akan membunuh warga Muhammadiyah: “Perlu saya halalkan gak nih darahnya semua Muhammadiyah? Apalagi Muhammadiyah yang disusupi Hizbut Tahrir melalui agenda kalender Islam global dari Gema Pembebasan? Banyak bacot emang! Sini saya b*n*h kalian satu-satu. Silakan laporkan komen saya dengan ancaman pasal pembunuhan! Saya siap dipenjara. Saya capek lihat pergaduhan kalian.”
Akhir Ramadhan kali ini memang memunculkan perbedaan. Untuk Lebaran tahun ini, Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1444 H pada Jumat, 21 April 2023. Adapun pemerintah melalui Kementerian Agama RI menetapkannya sebagai Sabtu, 22 April 2023.
Yang amat disayangkan, perbedaan ternyata belum ditanggapi secara dewasa oleh sebagian orang, semisal APH. Padahal, sejarah negeri ini menyiratkan, masyarakat Muslim Indonesia sudah terbiasa dengan sikap saling pengertian dan menghargai terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Termasuk dalam urusan penetuan awal dan akhir bulan suci Ramadhan.
Di media sosialnya, mantan juru bicara presiden keempat RI, Adhie Massardi, merawikan kesaksian. Menurut dia, pernah kala KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi orang nomor satu di republik ini, muncul potensi beda hari Lebaran. Kemudian, cucu Hadratussyekh Hasyim Asy’ari itu menelepon petinggi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Saat itu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah sudah lebih dahulu mengumumkan tanggal Lebaran. Apa yang dilakukan Gus Dur? Adhie menceritakan, suami Ny Sinta Nuriyah itu menginstruksikan perintah unik via telepon ke PBNU. Yakni, mengajak warga Nahdliyin untuk menyelenggarakan Idul Fitri di tanggal yang sama dengan penetapan Muhammadiyah.
“Pernah aku lihat dan dengar Presiden KH Abdurrahman Wahid nelepon petinggi PBNU dan berkata yang intinya bilang: 'Kita Lebaran ikut Muhammadiyah...!'," tulis Adhie Massardi.
Adhie menyebut, suasana Ramadhan dan Lebaran pada era Presiden Gus Dur indah dan tidak ada adu domba. "Maka pada era Gus Dur itu Ramadhan dan Lebaran jadi indah. Tak ada ruang bagi orang-orang Islamofobia untuk adu domba," kata Adhie.
Bukan ‘tidak taat’
Dilihat secara kronologis, tulisan APH pada 23 April 2023 itu ditulis pada kolom komentar akun milik peneliti BRIN lainnya, Prof Thomas Djamaluddin (TDj). Ujaran yang ditulis TDj pun kontroversial karena menyinggung para warga Muhammadiyah yang merayakan Hari Raya Idul Fitri 2023 lebih awal ketimbang keputusan pemerintah.
TDj menyindir Muhammadiyah itu dengan meminta fasilitas dan izin penggunaan tempat, atau lapangan untuk gelaran shalat Id lebih awal. “Sudah tidak taat keputusan pemerintah, eh minta difasilitasi tempat shalat Id. Pemerintah pun memberikan fasilitas,” begitu komentar TDj.
Anggapan bahwa Muhammadiyah “tidak taat” terhadap pemerintah sudah melenceng dari konteks sebenarnya. Persyarikatan ini telah ada sebelum lahirnya negara RI. Sejak berdirinya hingga kini, Muhammadiyah terus berbuat untuk maslahat bangsa, negara dan kemanusiaan umumnya.
Dalam konteks penentuan awal bulan Hijriyah, sejak lahirnya Muhammadiyah telah menggunakan metode hisab wujudul hilal. Cara itu adalah ikhtiar yang dipilih dan bisa dipertanggungjawabkan oleh Muhammadiyah. Dalam keterangannya, Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir menyatakan, dipilihnya metode itu karena secara praksis menjawab keresahan umat tentang penentuan waktu-waktu penting ibadah, yang berkorelasi dengan penjadwalan untuk aktivitas lain di luar ibadah khusus.
Tidak hanya berdasarkan sains dan alasan kemudahan, melainkan juga berpijak pada teks-teks rujukan utama agama. Dalam Alquran pun, tidak sedikit surah yang menerangkan tentang metode hisab untuk menentukan waktu. Begitu pula hadis-hadis Nabi SAW.
Sebagai seorang ilmuwan, TDj semestinya mengakui dengan lapang dada perbedaan metode demikian. Bukan malah membawa konteks yang tidak tepat, yang seolah-olah membenturkan antara Muhammadiyah dan negara.
Kita memerlukan kaum ilmuwan yang bukan hanya cerdas, melainkan juga memiliki kelapangan hati untuk menerima perbedaan. Kita pun membutuhkan peran pemerintah, yang hemat saya, terus bisa menjembatani dan mengelola perbedaan-perbedaan di tengah masyarakat sehingga tidak memunculkan konflik, verbal maupun fisik. Kepemimpinan Gus Dur sebagai presiden keempat RI dapat menjadi sebuah contoh baik.