Sikola Doso untuk Plesetan Volkschool
Pada tahun 1915 di Sumatra Barat ditemukan sebanyak 358 jenis sekolah ini, didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda (Abdullah, 1971; Yunus, 1979; Buchari, 1982). Dan, hadirnya Adabiah School, Dinijah School, ataupun HIS yang didirikan persyarikatan Muhammadiyah adalah untuk menandingi laju dari sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah.
Namun, laju yang tidak tertahankan dari Sekolah Desa di pedalaman Minangkabau, telah memicu amarah dari ulama-ulama tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah. Hadirnya Sekolah Desa – rupanya telah mengubah cara berpikir orang Minang.
Alhasil, murid-murid yang mengaji di surau pun berkurang. Tuangku-tuangku yang mengajar di surau pun meradang, akibat hadirnya Sekolah Desa. Mereka pun memprotes hadirnya sekolah buatan pemerintah – yang kemudian mereka plesetkan menjadi Sikola Doso (baca: Sekolah Dosa).
Mereka menamakannya Sikola Doso, karena sekolah tersebut didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda yang dituding kafir. Sebelum Sekolah Desa ini didirikan oleh pemerintah, tiap-tiap surau biasa menampung ratusan orang murid. Bahkan, dalam catatan Memorandum van Overgave ditemukan pada tahun 1902 ada surau yang mempunyai murid sekitar 500–1000 orang.
Setelah Volkschool dikutuk ulama tarekat dengan Sekolah Dosa, maka grafik penerimaan dari murid-murid di Surau kembali ke titik normal.
Residen Sumatra Barat W.P.C Whitlaw mengakui, bahwa hadirnya Sekolah Desa memang mendapat respon keras dari ulama-ulama tarekat, karena berdampak luas terhadap surau yang mereka bina (MvO van den Aftreden Gouverneur van Sumatra’s Westkust W.P.C Whitlaw, April 1921).