Selasa 06 Jun 2023 03:52 WIB

Pemuda, Antara Modal dan Beban Demografi

Satu dari empat pemuda tidak bekerja, tidak bersekolah, maupun tidak ikut pelatihan.

Pemuda bisa menjadi beban demografi jika tidak dikelola dengan baik. Petugas mengecek formulir pendaftaran pencari kerja di Jakarta Job Fair 2023
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pemuda bisa menjadi beban demografi jika tidak dikelola dengan baik. Petugas mengecek formulir pendaftaran pencari kerja di Jakarta Job Fair 2023

Oleh : Satria Kartika Yuda, Redaktur Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, Indonesia bercita-cita menjadi negara maju pada 2045. Untuk menyandang status itu, kita harus bisa menjadi negara berpendapatan tinggi. Tapi, ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah, salah satunya soal penduduk usia muda.

Cita-cita menjadi negara maju tak terlepas dari modal bonus demografi yang dimiliki Indonesia. Pemerintah memperkirakan puncak bonus demografi terjadi pada 2030. Pada periode itu, jumlah penduduk usia produktif  (15-64 tahun) akan lebih besar dibanding usia nonproduktif (65 tahun ke atas). Bahkan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebutkan Indonesia akan menjadi salah satu negara dengan angkatan kerja terbanyak di Asia.

Permasalahannya, ada banyak pemuda yang merupakan bagian dari penduduk usia produktif, menyandang status sebagai 'pengangguran sejati'.  Mengutip laporan Statistik Pemuda Indonesia 2022 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), ada sebanyak 24,28 persen pemuda (16-30 tahun) yang tergolong ke dalam kriteria NEET (not in employment, education, and training) berdasarkan Sakernas Agustus 2022.

Persentase tersebut menunjukkan bahwa satu dari empat pemuda tidak bekerja, tidak bersekolah, maupun sedang tidak mengikuti pelatihan/kursus. Hal ini mengindikasikan berkurangnya pendatang usia muda sebagai tenaga kerja potensial. Jumlah pemuda Indonesia pada 2022 tercatat sebesar 65,82 juta jiwa atau mencapai 24 persen dari jumlah total penduduk.

Masih menurut BPS, ada banyak alasan penduduk usia muda berada dalam kategori ini. Beberapa alasan itu, antara lain, karena putus asa, kecacatan, kurangnya transportasi, pekerjaan rumah tangga, dan lainnya.

Jika dilihat dari daerah tempat tinggal, pemuda NEET di perdesaan lebih besar 3-4 persen poin dibandingkan perkotaan. Adapun berdasarkan jenis kelamin, perempuan yang tergolong ke dalam pemuda NEET lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Perempuan usia muda NEET sebesar 27,76 persen, sedangkan laki-laki 18,79 persen.

Sejalan dengan data tersebut, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pemuda pun terbilang tinggi, yakni sebesar 13,93 persen pada 2022.  Sebanyak 14 dari 100 angkatan kerja pemuda tidak terserap dalam pasar kerja. TPT pemuda juga lebih tinggi dibandingkan TPT umum yang sebesar 5,86 persen.

Berkaca pada data tersebut, pemerintah harus benar-benar bisa menyiapkan para pemuda NEET berikut lapangan pekerjaannya agar tak menjadi beban negara di masa mendatang. Pemerintah perlu memberikan dukungan lebih terhadap lapangan pekerjaan informal. Sebab, para pemuda NEET yang tidak memiliki kesempatan mengenyam pendidikan, bisa terserap sebagai pekerja informal meskipun tidak memiliki ijazah sekolah.

Berbagai program pemerintah, seperti Kartu Prakerja, juga perlu dipastikan dapat menyentuh para pemuda NEET. Bekali para pemuda tersebut dengan keterampilan ataupun kemampuan untuk berwirausaha, yang mungkin nantinya merekalah yang justru menjadi pembuka lapangan pekerjaan.

Meningkatkan jumlah wirausaha menjadi salah satu faktor yang penting dilakukan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara berpenghasilan tinggi. Rasio kewirausahaan di negara-negara maju berkisar di angka 12-14 persen. Sedangkan Indonesia masih di angka 3,18 persen. Jika dikerucutkan ke kelompok pemuda, hanya sekitar 19,48 persen pemuda yang bekerja sebagai wirausaha.

Melatih para pemuda menjadi wirausaha bisa menjadi cara untuk mengatasi permasalahan ketenagakerjaan penduduk usia muda. Khususnya, pemuda yang berada di luar sistem pendidikan. Jangan sampai, pemuda yang sedianya bisa menjadi modal Indonesia untuk menjadi negara maju, justru menjadi beban atau penghambat Indonesia mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement