Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Selain tersurat dalam bentuk berbagai bangunan pesantren, jaringan ulama di wilayah selatan Jawa itu tersirat dalam bentuk tanaman pohon di halaman asrama para santri yang kerap di lazim di sebut pesantren. Sejarawan asal Inggris yang menekuni penulisan sejarah Pangeran Diponegoro, Peter Carey, pada suatu perbincangan mengungkapkan setelah Perang Jawa usai para pengikutnya menyebar sembari menaman pohon sawo di tempat tinggalnya.
''Pohon sawo itu tanda jaringan Pangeran Diponegoro. Bila kemudian muncul perintah untuk bergerak lagi, maka tinggal di cek siapa yang memerintahkannya itu. Dan bila di depan kediamannya ada pohon sawo maka itu jelas masih merupakan jaringannya,'' kata Carey.
Di kawasan Selatan Jawa itu, memang banyak sekali anak keturunan Pangeran Diponegoro yang menjadi ulama dengan mendirikan pesantren. Alhasil, di beberapa 'pesantren berpengaruh' di wilayah itu bisa ditemukan pohon sawo. Di Pesantren Al Kahfi Somalangu misalnya masih ditemukan pohon Sawo yang tua, baik jenis sawo kecik maupun sawo biasa.
''Pohon sawo keciknya baru saja di tebang terkena perluasan halaman pesantren. Sedangkan pohon sawo jenis yang biasa masih tumbuh subur di samping masjid,'' kata Hidayat Aji Pambudi, pengurus Yayasan Pesantren Al Kahfi.
Di tempat lain, misalnya di 'Masjid Pathok Negara' Ploso Kuning, Sleman Yogyakarta, pohon sawo kecik raksasa masih menjulang tinggi. Masjid yang dahulunya menjadi salah satu tempat mengaji Pangeran Diponegoro ketika menjadi santrai Kiai Mustofa yang mengasuh pondok tersebut. Pohon sawo itu masih bisa dilihat sampai sekarang (lihat foto di atas).
''Dunia orang Jawa kan penuh perlambang atau isyarat. Pohon sawo tampaknya digunakan sebagai 'perlambang' (isyarat) dari perintah untuk taat meluruskan shaf ketika hendak shalat: sawwu shufufakum (luruskan shafmu)' kata peneliti dunia pesantren di kawasan selatan Jawa, Ahmad Khoirul Fahmi. Sedangkan sawo kecik itu dmemberi pesan setelah meluruskan shaf (bersatu membentuk jaringan) jadilah orang yang 'becik' (baik).
Fahmi menceritakan, sebagai seorang kiai ayahnya selalu menasihatkan, dengan mengutip kalimat tersebut terutama ketika anak-anak selalu ribut saat akan shalat berjamah."Kata Ayah saya, ingat di depan masjid kita ada pohon sawo. Jadi, segera laksanakan shalat ketika kamu dengar imam memberi perintah luruskan atau rapikan Shafmu."
Beberapa cicit Pangeran Diponegoro atau kiai yang berdarah bangsawan keraton Yogyakarta yang kemudian menjadi ulama berpengaruh di wilayah ini adalah KH Muhammad Ilyas dan KH Abdul Malik (di Sokaraja), KH Badawi di Kesugihan, KH Masurudi (di Baturaden Purwokerto).
Bila demikian, wajar bila banyak pesantren tua yang ada di berbagai pesantren tua banyak di tanam pohon jenis sawo biasa atau sawo kecik yang ternyata itu isyarat adanya jaringan ulama. Dan dulu para kiai kerapkali memang menyuruh santrinya menanam pohon ini ketika hendak menamatkan masa pendidikannya. Sawo kecik dipilih selain buahnya manis karena juga punya sinonim dalam bahasa Jawa: sarwo becik (serba baik).