Selasa 21 Nov 2023 14:50 WIB

Dunia akan Hadapi Bencana Kesehatan Global pada 2050 Dampak dari Perubahan Iklim

Jumlah kematian akibat suhu panas akan meningkat hampir lima kali lipat di 2050.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Kematian akibat suhu panas diprediksi akan meningkat lima kali lipat di 2050.
Foto: www.freepik.com
Kematian akibat suhu panas diprediksi akan meningkat lima kali lipat di 2050.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam laporan kedelapannya, proyek Lancet Countdown, memperingatkan bahwa populasi global menghadapi peningkatan hampir lima kali lipat dalam kematian akibat suhu panas pada 2050. Sementara, kegagalan dalam aksi mitigasi iklim telah mengorbankan nyawa dan kesejahteraan makhluk hidup.

Peneliti melaporkan bahwa tahun lalu rata-rata manusia terpapar suhu panas ekstrem yang mengancam kesehatan rata-rata selama 86 hari, dengan 60 persen di antaranya kemungkinan besar terjadi karena perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.

Baca Juga

Atas kondisi ini, para penulis laporan menyalahkan pemerintah, perusahaan, bank, dan institusi lain yang terus berinvestasi dalam bahan bakar fosil. Mereka menegaskan perlunya tindakan mitigasi yang cepat untuk mengatasi akar penyebab perubahan iklim.

“Inventarisasi kesehatan kami mengungkapkan bahwa bahaya perubahan iklim yang terus meningkat telah mengorbankan nyawa dan mata pencaharian di seluruh dunia saat ini," kata Dr Marina Romanello, direktur eksekutif Lancet Countdown di University College London.

“Proyeksi dunia yang lebih panas 2 derajat Celsius menunjukkan masa depan yang berbahaya dan merupakan pengingat suram bahwa kecepatan dan skala upaya mitigasi yang terlihat sejauh ini sangat tidak memadai untuk melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat,” ujar dia seperti dilansir Euro News, Selasa (21/11/2023).

Romanello menegaskan, dengan 1.337 ton karbon dioksida yang masih dilepaskan setiap detiknya, seluruh pemimpin dunia dan pihak terkait perlu mempercepat laju tindakan mitigasi untuk menghindari bencana bagi kesehatan manusia secara global. “Ada banyak sekali kerugian yang harus ditanggung oleh manusia akibat kelambanan ini. Setiap saat kita menunda, jalan menuju masa depan yang layak huni akan semakin sulit dan adaptasi akan semakin mahal dan menantang,” kata Romanello.

Sebuah studi terbaru dari University of Exeter Inggris menunjukkan bahwa dunia berada di jalur yang tepat untuk mencapai kenaikan suhu 2,7 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri, yang dapat membuat dua miliar orang berisiko terkena heat stroke yang mengancam jiwa pada 2100.

Laporan The Lancet mengambil data dan penelitian dari para ahli terkemuka dari 52 lembaga penelitian dan badan-badan PBB di seluruh dunia termasuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).

Di sisi lain, Romanello masih menyimpan harapan akan perubahan. Terutama akhir bulan ini, akan digelar pertemuan iklim PBB ke-28 (COP28) di Dubai, yang dinilai bisa menjadi kesempatan untuk menagih komitmen dan aksi iklim yang lebih signifikan.

“Jika negosiasi iklim mendorong penghapusan bahan bakar fosil secara adil dan cepat, mempercepat mitigasi, dan mendukung upaya adaptasi untuk kesehatan, ambisi Perjanjian Paris untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius masih dapat dicapai, dan masa depan yang sehat dan sejahtera berada dalam jangkauan,” kata dia.

Para penulis menunjukkan bagaimana tahun 2023 merupakan tahun dengan suhu global terpanas di dunia dalam lebih dari 100 ribu tahun terakhir. Kematian akibat suhu panas pada orang berusia di atas 65 tahun meningkat sebesar 85 persen pada periode 2013-2022 dibandingkan dengan periode 1991-2000. Peningkatan ini hanya berdasarkan perubahan demografi yang diperkirakan sekitar 38 persen.

Para ahli juga memperingatkan bahwa iklim yang memanas, cuaca dan bencana ekstrim bisa membahayakan air dan pangan. "Kita menghadapi krisis di atas krisis," kata Dr Georgiana Gordon-Strachan, Direktur Pusat Regional Lancet Countdown untuk Negara-negara Berkembang Pulau Kecil.

Menurut dia, orang-orang yang tinggal di negara-negara berkembang dan miskin, menanggung beban terberat dari dampak kesehatan. Namun, sayangnya, mereka tidak mampu mengakses pendanaan dan kapasitas teknis untuk beradaptasi dengan badai yang mematikan, naiknya permukaan air laut, dan kekeringan yang merusak tanaman yang diperparah oleh pemanasan global.

Gelombang panas juga dapat menyebabkan sekitar 525 juta orang mengalami kerawanan pangan tingkat sedang hingga berat pada 2041-2060. Penulis laporan juga mengatakan bahwa penyakit menular yang mengancam jiwa dapat meningkat, dengan potensi penularan demam berdarah meningkat sekitar 36 persen.

“Menghadapi proyeksi yang mengerikan ini, adaptasi saja tidak dapat mengimbangi dampak perubahan iklim, dan biayanya dengan cepat menjadi tidak dapat diatasi. Kita harus lebih dari sekadar mengobati gejala-gejala kesehatan akibat perubahan iklim, kita harus fokus pada pencegahan primer," ujar Profesor Stella Hartinger, direktur pusat Regional Lancet Countdown untuk Amerika Latin.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement