Selasa 13 Feb 2024 16:23 WIB

Perempuan Harus Melek Politik

Keterwakilan perempuan di parlemen dan partisipasi politik bukan sebagai pelengkap.

Pemilih Perempuan di Pemilu. Perempuan harus melek pemilu.
Foto: ANTARA FOTO/Septianda Perdana
Pemilih Perempuan di Pemilu. Perempuan harus melek pemilu.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sa’diyah El Adawiyah, Dosen Prodi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jakarta

Bangsa Indonesia kembali akan mengadakan pesta demokrasi pemilihan umum calon presiden dan wakil presiden  serta pemilihan calon anggota legislatif DPR RI secara serentak yang dilaksanakan pada tanggal 14 Februari tahun 2024. Tidak ada alasan lagi bagi perempuan untuk terjun ke dunia politik. Kebijakan affirmative action (Adawiyah, 2018) dengan sistem kuota pertama kali hanya ada dalam pemilu legislatif, di mana UU pemilu  dan UU partai memberikan peluang perempuan masuk di parlemen melalui kebijakan affirmative action 30 persen kuota perempuan di parlemen yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Walaupun hasil yang diperoleh belum maksimal, UU tersebut kembali dimaktubkan ke dalam Undang-Undang penggantinya, yaitu Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD, dan DPD (Hubeis, 2016, p. 497). Pasal 53 UU No. 10 tahun 2008 tentang pemilu menyebutkan bahwa ”daftar bakal calon, sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.

Kebijakan afirmatif yang terbaru keluarnya PKPU 10 tahun 2023 pasal 8 ayat 1 huruf c, daftar bakal calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap dapil, setiap tiga orang paling sedikti satu orang bakal calon perempuan. Meskipun PKPU nomor 10 tahun 2023 masih menimbulkan masalah karena menghapus diskriminasi dalamm mewujudkan kesetaraan perlakuan bagi perempuan. Terlebih keterwawkilan perempuan dalam pemilu banyak diatur dalam berbagai produk legislasi.

Keterwakilan perempuan harus sejalan dengan amanat dari Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau Convention on The Eliminations of all Forms of Discrimination against Women (Konvensi CEDAW) PBB. Keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen adalah amanat Konstitusi, CEDAW dan juga UU Pemilu. Semua elemen negara, baik KPU maupun Partai Politik, mematuhi setiap upaya unutk mewujudkan keterwakilan perempuan di ranah politik melalui suatu proses pemilu.

Keterwakilan perempuan di parlemen dan partisipasi politik perempuan dalam Pemilu bukan hanya sekedar pelengkap semata. Melainkan keterwakilan perempuan dan partisipasi politik perempuan akan memastikan lahirnya kebijakan-kebijakan yang mendukung, memberdayaan dan berkontribusi dalam perubahan secara nyata dan dirasakan oleh  perempuan. Meskipun ada saja tantangan dan perempuan yang dihadapi perempuan dalam keterlibatan dalamm politik yaitu

1) diskriminasi dan inkonsistensi regulasi terkait pelibatan perempuan di politik;

2) factor social dan kultur masyarakat yang masih mendiskriminasikan perempuan,

3) biaya politik yang tinggi,

4) politik transaksional di pemilu,

5) politik afirmasi keterwakilan perempuan masih dianggap sebagai beban oleh partai politik. Sehingga minimnya kaderisasi, Pendidikan, dan penguatan kapasitas politik yang berkesinambungan,

6) perempuan dianggap kurang kompetitif disbanding caleg laki-laki, dan

7) perempuan masih kesulitan dalam memberikan suara secara sah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement