Senin 25 Mar 2024 16:40 WIB

BMKG Imbau Seluruh Pihak Antisipasi Dampak Perubahan Iklim di Indonesia

Perubahan iklim akan berdampak langsung mengancam kehidupan manusia.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
perubahan iklim harus mendapat perhatian serius karena mengancam keberlangsungan kehidupan umat manusia.
Foto: www.freepik.com
perubahan iklim harus mendapat perhatian serius karena mengancam keberlangsungan kehidupan umat manusia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk berkolaborasi dan mengambil langkah konkret dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Menurut dia, perubahan iklim harus mendapat perhatian serius karena mengancam keberlangsungan kehidupan umat manusia.

“Persoalan iklim tidak dapat diselesaikan hanya melalui pertemuan, seminar, dan meeting. Terpenting, dari pertemuan itu dihasilkan aksi konkrit dan memiliki dampak besar terhadap upaya pencegahan dampak perubahan iklim,” ungkap Dwikorita Karnawati dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (25/3/2024).

Baca Juga

Dwikorita menyebut perubahan iklim mencakup berbagai aspek, termasuk peningkatan suhu global, perubahan pola curah hujan, kenaikan permukaan air laut, serta dampaknya terhadap lingkungan dan manusia. Contoh nyata kenaikan suhu akibat perubahan iklim yaitu mencairnya gletser atau lapisan es tropis di Puncak Jaya, Papua. Luas tutupan salju abadi di ketinggian 4.884 MDPL itu menyusut hingga 98 persen, dari 19,3 kilometer persegi di tahun 1850 menjadi hanya 0,23 kilometer persegi di April 2022.

Perubahan iklim saat ini, lanjut Dwikorita, telah mendekati batas yang disepakati bersama pada Perjanjian Paris. Saat itu, seluruh dunia bersepakat harus membatasi kenaikan suhu rata-rata global di angka 1,5 derajat Celcius pada 2030. Namun faktanya, saat ini kenaikan suhu melaju lebih cepat dan sudah mencapai kenaikan 1,45 derajat Celcius di atas suhu rata-rata di masa pra-industri.

Dwikorita mengungkapkan, dalam mengatasi laju perubahan iklim terdapat dua aksi yang dapat dilakukan yaitu mitigasi dan adaptasi. Mitigasi berarti setiap pihak harus mengurangi penyebab daripada pemasanan global dan perubahan iklim. Sementara adaptasi ialah proses penyesuaian terhadap dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim.

“Jadi aksi iklim harus berorientasi mengintegrasikan antara tindakan mitigasi dan tindakan adaptasi,” ujar dia.

Adapun dalam melakukan aksi mitigasi, terdapat terdapat lima sektor fokus aksi penurunan emisi gas rumah kaca dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Yaitu, sektor kehutanan, pertanian, energi, industri, dan limbah. Sementara terdapat delapan fokus adaptasi yaitu ketahanan pangan, ketahanan ekosistem, ketahanan air, kemandirian energi, kesehatan, pemukiman perkotaan dan pedesaan, pesisir dan pulau kecil, dan peningkatan kapasitas para pemangku kepentingan dan masyarakat.

Dwikorita juga menegaskan pentingnya menjaga ketahanan air. Menurut dia, jika ketahanan air melemah maka akan berdampak serius pada banyak hal diantaranya ketahanan pangan dan ketahanan energi Indonesia. Apabila terus berlanjut, maka akan memicu terjadinya konflik yang berimplikasi terhadap stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan.

“Jumlah penduduk terus meningkat sehingga di waktu bersamaan kebutuhan air juga ikut meningkat. Apabila air tidak dikelola dengan baik maka dampak buruknya akan sangat serius,” tutur dia

Dwikorita menyebut, berdasarkan data yang dirilis Bappenas, perubahan iklim berpotensi menurunkan produksi padi Indonesia sebesar 1,13 juta ton-1,89 juta ton. Lahan pertanian seluas 2.256 hektar sawah pun terancam kekeringan. Di sisi lain, kondisi ketahanan pangan Indonesia, yang dilihat dari tingkat konsumsi pangan rumah tangga, juga membutuhkan perhatian. Angka prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan Prevalence of Undernourishment (PoU) pada 2022 meningkat menjadi 10,21 persen dari 8,49 persen pada 2021.

Apabila situasi ini tidak mendapatkan perhatian serius, tambah dia, maka ramalan TheFood and Agriculture Organization (FAO) atau Badan Pangan dan Pertanian Dunia mengenai krisis pangan global dan bencana kelaparan di tahun 2050 dapat menjadi kenyataan.

“Kami berharap para pemangku kebijakan dari level pusat hingga daerah terus meningkatkan kewaspadaan dan menerapkan early warning system yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir. Dengan demikian, ancaman bencana dapat diminimalisir dan diantisipasi semaksimal mungkin,” pungkas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement