REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Salim*
Apapun keadaannya, rakyat miskin harus melihat dengan jelas yang harus diperjuangkannya untuk mempertahankan hidup, dan yang paling utama adalah mereka harus bebas dari ilusi-ilusi. Ilusi terburuk dalam sejarah yang dialami oleh rakyat miskin adalah ilusi ketergantungan pada orang lain atau bangsa lain.
Pengertian
Wangsa atau dinasti berarti kelanjutan kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh satu garis keturunan (keluarga yang sama). Dalam sejarah Indonesia banyak kerajaan di bumi Nusantara yang rajanya berasal dari satu garis keturunan yang sama, misalnya wangsa Sailendra pada Kerajaan Mataram Kuno, wangsa Bendahara pada Kesultanan Johor dan Kesultanan Riau-Lingga.
Suatu wangsa bisa jadi memerintah di lebih dari satu negara. Dewasa ini Wangsa Windsor bertahta tidak hanya di Britania Raya, tetapi juga di negara-negara persemakmuran, seperti Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Meskipun dikepalai oleh raja-raja dari wangsa yang sama, negara-negara seperti itu tidak selalu berbagi satu raja. Misalnya, Spanyol dan Prancis pernah diperintah oleh raja-raja dari wangsa Bourbon, tetapi tetap merupakan kerajaan terpisah dengan raja-raja yang berbeda pula.
Arab Saudi dikenal dengan wangsa Saud, Bahrain dikenal dengan wangsa Al Kalifa, Yordania dikenal dengan wangsa Hasyimiah, Monako dikenal dengan wangsa Grimaldi, Belanda dikenal dengan wangsa Oranje-Nassau, Swedia dikenal dengan wangsa Bernadotte, Thailand di kenal dengan wangsa Chakri, Jepang dikenal dengan wangsa Kekaisaran Jepang, dan Inggris dikenal dengan wangsa Windsor. Setiap bangsa memiliki garis keturunan wangsa tersendiri.
Ketika penulis membaca Babad Tanah Jawi, sejarah kemaritman bangsa dan sumber lainnya bahwa bangsa Indonesia memiliki sebutan dengan wangsa Mataram maka penulis menyebutnya dengan sebutan wangsa Bahari. Hal itu berdasarkan karakter-karakter awal peradaban dan budaya bahari yang berada di Nusantara sebagai peradaban wangsa bahari.
Kaum Wangsa Bahari
Sejarah keperkasaan dan kejayaan nenek moyang kita di laut bukanlah romantisme masa lalu belaka. Marilah kita menjadikannya sebagai energi penggerak dan penyemangat generasi sekarang dan masa yang akan datang. Bentuk implementasinya, bukan hanya sekadar berlayar dan euforia membangun kemaritiman.
Tetapi, bagaimana bangsa Indonesia dapat memanfaatkan laut dan sumber daya yang terkandungnya dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk pembangunan bangsa dan untuk kemakmuran rakyat.
Kaum wangsa Bahari akan bergerak menuju perubahan yang dicita-citakan bersama dengan terus konsisten meneruskan pembangunan maritim, mencari pemimpin yang memiliki Ocean leadership dan berwawasan global, serta mengerti jati diri bangsa dengan memegang teguh Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Dengan cara bagaimana? Imani dan gali terus akan kebenaran sejarah besar bangsa Indonesia yang telah ditakdirkan oleh Sang Pencipta, bergabunglah dengan jiwa-jiwa yang tercerahkan dan pemimpin yang memiliki integritas akan menggunakan dan manfaatkan sebesar-besarnya sumber daya yang ada untuk kepentingan rakyat. Hal itu sesuai dengan amanah Pancasila dan UUD 1945 yang asli sebelum dibredel menjadi UUD 2002 sampai dengan sekarang.
Mulai dari kita masing-masing, mulai dari tempat-tempat ibadah, mushola rumah, mushola desa, sekolah untuk membentuk 'jejaring' revolusi spiritual, justru karena kita sadar bahwa kita adalah bagian dari rakyat jelata yang tak memiliki senjata, uang, atau kekuasaan untuk mengatur militer, logistik perang, dan penyerbuan, tapi kita punya 'sejengkal' wilayah kekuatan, yakni menciptakan moment agar seluruh kekuatan semesta alam beserta kita.
Gunung, sungai, laut, gempa dan badai yang dapat meciptakan 'kelumpuhan sistemik' pada kekuatan bathil untuk tercerai berai di tengah puncak kekuatan teknologi pertahanannya. Mereka 'diizinkan' untuk merancang semua kelebihan power tadi tapi Allah lebih maha pandai untuk 'mempermalukan' kekuatan tiran semacam itu sebagai 'nyamuk' yang sebenarnya hanya mimiliki 'ritme' rasa hidup pendek, yaitu sembilan hari.
Itulah situasi 'rasa hidup' yang sempit pada kaum ingkar yang bergantung pada berhala materialism dan kebohongan. Sehingga nyaris suasana 'batiniah' mereka menjadi paranoid, tak bisa nyaman kalau tidak membunuh, mencuri kekayaan bangsa lain, dan pemimpin menipu rakyatnya sebagai ilusi menguasai keadaan.
Kehidupan batin penguasa yang dzolim, dilukiskan sebagai tenggelam dalam samudera gelap, diombang-ambingkan ombak, sehingga jika tangan mereka menggapai mata pun tak bisa melihat tangannya.
Kita Wangsa Bahari yang teraniaya dapat mendatangkan 'hukuman' bagi para penguasa yang zalim seperti itu dari dalam rumah kita sambil 'menyehatkan diri' dalam Tahajud dengan akhlak Daud, dengan 'puasa Daud', dan doa-doa Daud, sebagai basis sumbangsih individu. Sementara dalam gerakan, kita mengadopsi pola perjuangan Rasul Muhammad SAW.
Dengan fondasi dan sistematika gerakan yang diridhoi Allah sebagai 'buku pintar' asli. Hal itu menjamin kita mencapai proses revolusi yang benar, bebas komplikasi, dan bebas dari ancaman pemboncengan elemen 'musang berbulu domba', seperti yang terjadi pada reformasi 1998. Karena reformasi menghasilkan potensi musnahnya NKRI akibat amandemen UUD 45 yang kebablasan dan menyebabkan hampir 82 persen kekayaan tergadai ke tangan asing.
Mengembalikan kejayaan wangsa bahari dengan membangun Indonesia sebagai kelanjutan kejayaan negara maritim Nusantara, tidak hanya cukup dengan riuhnya pembangunan fisik semata, namunjuga didukung oleh kualitas SDM yang sadar akan geographical destiny bangsanya.
Kejayaan Indonesia sebagai bangsa maritim yang besar, harus terbentuk sebagai akibat faktor inheren keterpanggilan, dengan mencontoh berbagai revolusi dibelahan dunia mana pun, di mana rakyat teraniaya bersatu padu untuk berjuang karena terbangkitkan rasa urgensinya terhadap nasib laut berkat pemimpin yang 24 jam hadir bersama rakyat.
*Dewan Penasihat Kesatuan Pelajar, Pemuda, dan Mahasiswa Pesisir Indonesia & kandidat Doktor Sumber Daya Manusia Universitas Airlangga