Rabu 03 Jul 2024 17:00 WIB

Bagaimana Perkembangan Industri Panel Surya di Indonesia?

Kelebihan listrik dari panel surya kini tak boleh diekspor.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
 Business and Development Sesna Group, Hafidz Anugra, berbicara mengenai perkembangan industri panel surya di Indonesia, di Jakarta, Rabu (3/7/2024).
Foto: Lintar Satria/Republika
Business and Development Sesna Group, Hafidz Anugra, berbicara mengenai perkembangan industri panel surya di Indonesia, di Jakarta, Rabu (3/7/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri panel surya atau pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di beberapa negara seperti Cina dan Jerman semakin menguat. Pada paruh pertama 2023, Jerman memangsang 6,5 gigawatt (GW) panel surya. Tidak hanya pemerintah, pebisnis di Jerman juga semakin banyak yang menggunakan panel surya. Lalu, bagaimana perkembangan industri panel surya di Tanah Air?

Business and Development Sesna Group, perusahaan energi terbarukan Indonesia yang fokus pada pengembangan energi surya, Hafidz Anugra mengatakan, sebenarnya implementasi panel surya sudah lama di Indonesia, tapi secara komersial untuk diutilisasi baru pada medio 2012 dan 2013. Tapi dulu hanya untuk proyek pemerintah atau early adopter, yaitu orang-orang pertama yang menggunakan inovasi baru.

Baca Juga

"Yang early adopter itu sudah menggunakan panel surya on-grid, segala macam tapi kebanyakan dari proyek pemerintah entah itu kementerian atau lembaga non-profit yang memberi hibah, tapi secara komersial itu yang IPP (Independent Power Producer) tahun 2012/2013," kata Hafidz saat berbincang dengan Republika, Rabu (3/7/2024).

IPP merupakan produsen listrik, tapi bukan perusahaan milik pemerintah atau perusahaan listrik nasional. Mereka biasanya adalah perusahaan swasta. IPP memiliki dan mengoperasikan fasilitas yang menghasilkan listrik.

"Kalau kita cerita di Jerman, di Jerman itu meledaknya tahun 2000-an, namanya transisi energi. Pada tahun itu mereka mendorong pengimplementasian panel surya, tapi memang yang menjadi pembedanya dengan kita yang sekarang saat itu grid mereka sudah cukup stabil," kata Hafizd.  

Grid mengacu pada jaringan luas yang memungkinkan pengiriman listrik dari pembangkit listrik ke konsumen. Pada dasarnya, grid merupakan sistem infrastruktur kompleks untuk listrik. Jaringan ini bukanlah kabel raksasa tunggal, tapi jaring komponen yang saling terhubung dan bekerja di saat bersamaan.

"Jadinya grid mereka sudah cukup besar dan stabil, karena mereka satu negara penuh ya, yang saya tahu grid besarnya itu menjulang dari utara sampai selatan tapi di Indonesia permasalahannya kita kan kepulauan, grid-nya kecil-kecil, Jawa-Bali itu grid besar, Kalimantan grid besar, Sulawesi grid besar, tapi masih banyak yang grid kecil-kecil," katanya.

Hafidz menceritakan, dahulu pemasangan panel surya di Indonesia lebih bertujuan untuk tujuan pemerintah dengan dana APBN dan kementerian atau skala percobaan seperti mikro-grid. Hafidz menambahkan, perkembangan industri panel surya di luar negeri juga awalnya dari dorongan pemerintah.

"Tapi lama kelamaan berubah ke skala komersial, skala komersial ini banyak bisnisnya ada IPP, kalau di rumahan itu disebut net metering," katanya.

Net metering merupakan sistem penagihan yang dirancang khusus untuk pelanggan yang memasang panel surya dan menghasilkan listrik mereka sendiri. Pada dasarnya, teknologi itu memungkinkan orang yang memasang panel surya untuk menggunakan jaringan listrik sebagai baterai penyimpanan raksasa.

"Net metering itu kelebihan (listrik) yang tidak kita pakai kita jual ke grid. Di Indonesia waktu itu ada skema net metering, Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 namun karena alasan teknis dan alasan grid, akhirnya dikurangi potensinya, sempat tidak tertulis tapi dilakukan ada pembatasan 15 persen, terus tidak boleh menjual kelebihan listrik atau ekspor, yang sekarang ini Permen No 2 2024 boleh ekspor tapi tidak hitung jadi tidak ada keuntungan komersial hanya penghematan tagihan listrik," katanya.

Dalam konteks panel surya, ekspor mengacu pada kelebihan listrik yang dihasilkan panel surya dan tidak digunakan sendiri, yang kemudian dikirim kembali ke grid. Sepanjang hari, panel surya menghasilkan listrik yang idealnya digunakan untuk memberi daya pada peralatan elektronik di rumah atau fasilitas lain seperti tambang, manufaktur dan lain-lain.

Tetapi terkadang, panel mungkin menghasilkan lebih banyak listrik daripada yang dikonsumsi pada waktu tertentu. Terutama selama hari-hari cerah saat pemasang panel surya tidak di rumah atau pabrik sedang libur sehingga tidak banyak perangkat elektronik yang digunakan. Listrik surplus itu tidak terbuang percuma. Listrik dapat diekspor, artinya dialirkan kembali ke jaringan listrik yang lebih besar untuk digunakan orang lain.

Ledakan pemasangan panel surya di Cina dan Jerman didorong skema net metering, sehingga pemasang panel surya dapat mengekspor kelebihan listrik mereka.

Pada pertengahan Juni lalu, asosiasi perusahaan panel surya BSW mengungkapkan pemasangan panel surya di Jerman pada empat bulan pertama 2024 naik 35 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Hal ini didorong naiknya industri panel surya, penggunaan komersial, dan tingginya permintaan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement