Senin 29 Jul 2024 13:27 WIB

Bertahan Hidup di Tengah Gelombang Panas

Akibat gelombang panas, puluhan warga Atlas Tengah meninggal dunia.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Gambar termostat eksposur panjang di Pusat Pengunjung Furnace Creek diambil tepat setelah pukul 22.00, di Taman Nasional Death Valley, California, Minggu, 7 Juli 2024.
Foto: AP Photo/Ty ONeil
Gambar termostat eksposur panjang di Pusat Pengunjung Furnace Creek diambil tepat setelah pukul 22.00, di Taman Nasional Death Valley, California, Minggu, 7 Juli 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, BENI MELLAL -- Gelombang panas yang melanda Maroko membuat warga di negara itu harus berjuang keras untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Akibat gelombang panas, puluhan warga Atlas Tengah meninggal dunia.

Pada Rabu (24/7/2024), rumah sakit utama Atlas Tengah, Beni Mellal mencatat 21 kematian terkait panas, ketika suhu udara di daerah berpopulasi 575 ribu jiwa itu mencapai 48,3 derajat Celsius. Sebagian besar warga tidak memiliki AC.

Baca Juga

"Kami tidak memiliki uang dan kami tidak memiliki pilihan," kata seorang warga bernama Hanna Ouhbour.

Perempuan berusia 31 tahun itu berasal dari Kasba Tadla, salah satu kota yang menurut pakar kota terpanas di dunia. Dalam pernyataannya, Direktur Kesehatan Regional Atlas Tengah Kamal Elyansil mengatakan sebagian besar kematian terjadi pada pasien penyakit kronis dan orang lanjut usia.

"Sementara suhu panas berkontribusi pada menurunnya kondisi kesehatan dan memicu kematian mereka," kata Elyansil.

Panas di wilayah Atlas Tengah menjadi urusan hidup dan mati. Saat gelombang panas dengan empat hari terpanas yang tercatat melanda sebagian besar kawasan pekan lalu, dunia fokus pada angka-angka yang menunjukkan suhu rata-rata harian di seluruh bumi.

Suhu permukaan bumi yang tercatat 17,16 derajat Celsius Senin (22/7/2024) yang merupakan hari terpanas dalam sejarah, tidak melekat pada satu tempat tertentu. Suhu tidak mengungkapkan kondisi masyarakat yang tetap merasakan panas di malam hari.

"Kami tidak butuh ilmuwan untuk memberitahu kami suhu di luar karena itu yang tubuh kami katakan secara langsung," kata penjual buah di Lahore, Pakistan, Humayun Saeed.

Saeed dua kali terpaksa mendatangi rumah sakit pada bulan Juni lalu karena heat stroke atau sengatan panas. Ia mengatakan saat ini situasinya sedikit membaik.

"Tidak mudah bekerja pada bulan Mei dan Juni karena gelombang panas, tapi saya masih menghindari jalan kaki pagi hari, saya mungkin kembali melakukannya pada bulan Agustus ketika suhu sudah jauh menurun," kata Saeed.  

Cuaca panas membuat Delia, perempuan hamil berusia 38 tahun berdiri di luar stasiun kereta api di Bukares, Rumania, merasa semakin tidak nyaman. Pada siang hari, panasnya begitu menyengat.

Dengan tidak adanya pendingin ruangan di malam hari, ia mempertimbangkan untuk tidur di dalam mobilnya seperti yang dilakukan oleh seorang teman.

"Saya benar-benar merasakan peningkatan suhu yang sangat besar. Saya rasa itu sama untuk semua orang. Saya lebih merasakannya karena saya sedang hamil," kata Delia, yang hanya menyebutkan nama depannya.

"Tapi saya rasa bukan hanya saya. Benar-benar semua orang merasakan hal ini," katanya. 

Dari tokoh ramai dibicarakan ini, siapa kamu jagokan sebagai calon gubernur DKI Jakarta 2024

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement