Kamis 29 Aug 2024 16:03 WIB

Driver Ojol Wanita Tuntut Sistem Skorsing Dihilangkan

Dia minta aplikator membedakan pengemudi pria dan wanita dalam membagikan orderan.

Sejumlah pengemudi ojek online (ojol) melakukan aksi unjuk rasa kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (29/8/2024). Mereka menuntut pemerintah dan perusahaan transportasi online untuk melegalkan status profesi driver ojol dalam undang-undang (UU). Selain itu, mereka juga menuntut perusahaan aplikasi untuk menurunkan biaya potongan aplikasi. Mereka datang dengan menggunakan atribut perusahaan masing-masing seperti Gojek, Grab, Shopee, dan Maxim.
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah pengemudi ojek online (ojol) melakukan aksi unjuk rasa kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (29/8/2024). Mereka menuntut pemerintah dan perusahaan transportasi online untuk melegalkan status profesi driver ojol dalam undang-undang (UU). Selain itu, mereka juga menuntut perusahaan aplikasi untuk menurunkan biaya potongan aplikasi. Mereka datang dengan menggunakan atribut perusahaan masing-masing seperti Gojek, Grab, Shopee, dan Maxim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wanita pengemudi ojek online bernama Melva Maria (54 tahun) menuntut agar sistem skorsing atau suspend yang diterapkan perusahaan penyedia aplikasi (aplikator) dihilangkan. Hal itu disampaikan saat berunjuk rasa di Patung Kuda, Kamis (29/8/2024).

Maria menyoroti pengalamannya mendapatkan sanksi skors lantaran membatalkan pesanan pelanggan yang  menurutnya sangat membebani dirinya selaku ojek pengantar barang.

Baca Juga

"Saya pernah dapat pesanan gabungan, yang satu 20 kilogram, yang satunya kecil. Nah, yang 20 kilogram saya kan perempuan. Sekuat-kuatnya perempuan untuk angkat nih barang 20 kilogram, (enggak bisa).  Cerdas sedikitlah aplikator. Harusnya dibedakan perempuan sama pria. Kalau pria seusia berapapun masih mampu angkat. Tapi kalau perempuan, saya udah 54, enggak akan mampu angkat 20 kilogram. Akhirnya saya batalkan dengan konsekuensi nilai performa turun," kata Maria kepada awak media di tengah aksi, Kamis.

Maria juga meminta agar aplikator (penyedia aplikasi) membedakan pengemudi pria dan wanita dalam membagikan orderan.

"Enggak ada (pembedaan pria dan wanita), jadi random. Semua enggak dipisahkan. Paling kalau spesifiknya kita daftar hub. Kita daftar hub hanya khusus spesial hub. Tapi di hub pun kalau kita salah, kita kena suspend juga. Artinya aturan itu yang perlu dirombak," tutur Maria.

Maria menyebut di perusahaan di tempatnya bekerja, membatalkan pesanan dua barang lebih dari dua kali dapat berpotensi putus kemitraan dengan perusahaan.

"Kalo lebih dari dua kali (ojek membatalkan pesanan) kita kena sanksi putus mitra. Lu membatalkan tujuh barang di hari yang sama maka 400 poin hilang," kata Maria menjelaskan situasi yang berpotensi memutus kemitraan dengan perusahaan.

Maria mengatakan dirinya bukannya tidak mau bekerja, namun pembatalan pesanan pelanggan dilakukannya karena alasan yang menurutnya masuk akal.

"Siapa sih yang enggak mau kerja? Tapi kalau misalnya tidak sesuai dengan (kapasitas) kendaraan. Apa yang dipaksa? Saya pernah kecelakaan loh, ditalangi cuman sedikit (oleh aplikator). Jadi yang asyik-asyik ajalah di online ini. Jangan terlalu menekan," kata Maria.

Dirinya menawarkan simbiosis mutualisme antara aplikator dan dirinya sebagai mitra.

"Semua kita mitra di sini mau kerja kok. Enggak ada yang mau nganggur. Tapi manusiawilah. Mereka tanpa mitra enggak bisa apa-apa juga. Kita tanpa aplikator juga gitu. Jadi intinya kayak tadi saya bilang, simbiosis mutualisme. Kami butuh aplikator, aplikator apa butuh kami," kata Maria.

Diketahui, aksi tersebut menyampaikan beberapa tuntutannya kepada perusahaan maupun pemerintah. Rencananya, aksi dari massa ojol dan kurir yang menamakan diri Asosiasi Pengemudi Transportasi Daring Roda Dua Nasional Garda Indonesia ini diikuti 500-1.000 orang.

"Informasi dari rekan-rekan kami bahwa aksi akan diikuti sekitar 500-1.000 pengemudi ojol dari berbagai komunitas di Jabodetabek, dengan rencana pelaksanaan jam 12.00 WIB dengan rute aksi Istana Merdeka, kantor Gojek di sekitar wilayah Petojo, Jakarta Pusat dan kantor Grab di sekitar Cilandak, Jakarta Selatan," kata Ketua Umum Garda Indonesia Igun Wicaksono dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (28/8/2024).

Igun menilai pemerintah belum dapat berbuat banyak untuk memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan para mitra perusahaan aplikasi yang ada. Hal tersebut terlihat dari status hukum ojek online ini yang masih ilegal tanpa adanya kedudukan hukum (legal standing) berupa undang-undang.

Menurut Igun, massa yang menuntut adanya legal standing yang jelas bagi para pengemudi ojol ini agar perusahaan tidak berbuat semaunya terhadap mitra ojol dan kurir.

"Tanpa ada solusi dari platform dan tanpa dapat diberikan sanksi tegas oleh pemerintah, hal inilah yang membuat timbulnya berbagai gerakan aksi protes dari para mitra," kata Igun.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement