Oleh : Sampor Ali, Dosen Prodi Manajemen FEB UMJ
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2023, sebagian besar pengguna fintech lending atau pinjaman online berasal dari generasi muda, dengan sekitar 60 persen di antaranya adalah Gen Z dan milenial. Fenomena ini menjadi semakin relevan di era digital, dimana kemudahan akses terhadap e-commerce dan promosi yang agresif di media sosial mendorong kebiasaan belanja impulsif.
Generasi muda, yang sering menjadi target utama iklan online, cenderung terdorong untuk membeli produk yang sebenarnya tidak diperlukan sebagai cara untuk mengurangi stres atau mendapatkan validasi sosial. Berbagai platform digital juga menawarkan metode pembayaran yang mempermudah terjadinya transaksi pembelian, seperti buy now pay later (BNPL), yang seringkali memicu pengeluaran berlebihan tanpa mempertimbangkan kemampuan finansial.
Doom Spending pada generasi muda merupakan fenomena di mana individu, khususnya kaum milenial dan Gen Z, melakukan pengeluaran uang secara impulsif sebagai respons terhadap kecemasan, stres, atau ketidakpastian akan masa depan. Istilah ini sering dikaitkan dengan perasaan tidak berdaya terhadap situasi global, seperti krisis ekonomi, perubahan iklim, atau ketidakpastian geopolitik, yang mendorong generasi muda untuk mencari pelarian dalam bentuk konsumsi.
Meskipun konsumsi ini memberikan kepuasan sementara, dampaknya bisa menjadi beban finansial jangka panjang. jika tidak diatasi, hal ini dapat memperburuk masa depan finansial generasi muda Indonesia. Dengan meningkatnya jumlah hutang dan rendahnya literasi keuangan, mereka berisiko mengalami kesulitan keuangan di masa depan.
Penyebab Doom Spending
Penyebab lain dari doom spending adalah pola pikir "hidup untuk saat ini" (You Only Live Once/YOLO), yang tumbuh di kalangan generasi muda akibat ketidakpastian masa depan. Pandangan ini membuat mereka lebih fokus pada menikmati kehidupan saat ini dibandingkan mempersiapkan kebutuhan masa depan. Misalnya, banyak yang lebih memilih untuk membelanjakan uang pada pengalaman seperti perjalanan, hiburan, atau barang-barang mewah sebagai bentuk penghargaan diri (self reward) atau pelarian dari tekanan hidup sehari-hari.
Namun, kebiasaan doom spending ini membawa risiko besar terhadap kestabilan keuangan generasi muda. Pengeluaran impulsif yang berlebihan dapat menyebabkan hutang yang sulit dilunasi, terutama dengan tingkat bunga yang tinggi pada kartu kredit atau layanan pembelian berbasis cicilan. Selain itu, pengelolaan keuangan yang tidak terencana dapat menghambat kemampuan mereka untuk menabung, berinvestasi, atau mempersiapkan kebutuhan darurat, sehingga menciptakan siklus finansial yang tidak aman.
BPS bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) Tahun 2024 bahwa Indeks Literasi Keuangan penduduk Indonesia sebesar 65,43 persen, sementara Indeks Inklusi Keuangan sebesar 75,02 persen. Artinya, tingkat pemahaman masyarakat terkait layanan keuangan termasuk perencanaan keuangan masih rendah dibandingkan akses layanan keuangan yang tersedia.
Rendahnya literasi keuangan dapat menimbulkan berbagai akibat negatif, terutama bagi generasi muda. Salah satu dampak utama adalah pengelolaan keuangan pribadi yang buruk, di mana individu cenderung membuat keputusan keuangan yang tidak bijaksana, seperti menghabiskan uang secara impulsif, terjebak dalam utang yang tinggi, atau tidak dapat merencanakan tabungan untuk masa depan. Hal ini seringkali menyebabkan masalah finansial jangka panjang, seperti kegagalan dalam menciptakan dana darurat atau ketidakmampuan untuk berinvestasi secara efektif.
Solusi Untuk Generasi Muda
beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi fenomena doom spending ini adalah, Pertama, generasi muda perlu memulai dengan meningkatkan literasi keuangan dan membangun kesadaran tentang pentingnya perencanaan finansial. Salah satu langkah awal adalah membuat anggaran bulanan yang jelas, mencakup kebutuhan dasar, tabungan, dan alokasi untuk pengeluaran hiburan.
Dengan anggaran yang terencana, mereka dapat memantau pengeluaran secara lebih ketat dan menghindari pengeluaran yang tidak perlu. Saat ini sudah banyak aplikasi pengelola keuangan yang dapat membantu generasi muda melacak pengeluaran mereka secara otomatis dan memberikan gambaran yang jelas tentang pola konsumsi mereka.
Kedua, penting bagi generasi muda untuk menetapkan tujuan finansial jangka pendek dan jangka panjang. Misalnya, menabung untuk dana darurat, membeli rumah, atau mempersiapkan pensiun. Tujuan-tujuan ini memberikan motivasi untuk mengendalikan pengeluaran impulsif dan lebih fokus pada nilai jangka panjang dari setiap keputusan finansial.
Ketiga, generasi muda harus memanfaatkan instrumen keuangan yang sesuai, seperti rekening tabungan otomatis, investasi di pasar modal, atau reksa dana, untuk membantu mereka mengembangkan aset dengan cara yang lebih terstruktur.
Keempat, generasi muda perlu memahami dampak psikologis dari pengeluaran impulsif dan mengelola pemicu emosional yang sering kali mendorong doom spending. Mengembangkan kebiasaan mindful spending, yaitu mempertimbangkan manfaat dan kebutuhan sebelum membeli sesuatu, sehingga dapat membantu mereka mengurangi konsumsi impulsif.
Selain itu, mereka dapat mencari alternatif sehat untuk mengatasi stres, seperti berolahraga atau beribadah, mendekatkan diri kepada Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa dapat menjadi cara efektif untuk menghindari pelarian melalui konsumsi. Dengan kombinasi strategi perencanaan, literasi keuangan, dan pengendalian diri, generasi muda dapat merencanakan keuangan mereka dengan lebih bijak dan membangun masa depan finansial yang stabil.