JAKARTA--Rencana pembangunan gedung baru Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dinilai akan membuka banyak celah untuk praktik korupsi. Dari itu, dianjurkan, jika pembangunan gedung ini benar jadi dilakukan, seluruh proses pengadaannya harus transparan.
Menurut Koordinator Korupsi Politik LSM Indonesia Corruption Watch (ICW), Ibrahim Fahmi Badoh, paling tidak ada empat tahap dalam proses pembangunan gedung ini yang bisa disusupi praktik suap dan korupsi. Tahapan-tahapan ini lah yang menurutnya perlu pengawasan ketat.
Yang pertama adalah saat perencanaan. Menurut Ibrahim, sudah sewajarnya proyek-proyek yang menggunakan Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara (APBN) meminta bantuan konsultan untuk perencanaannya. Di sini, bisa jadi ada main mata antara pemohon proyek (anggota DPR) dengan konsultan. Tujuannya adalah untuk menggelembungkan dana yang dianggarkan untuk proyek. "Apalagi kalau nanti tidak ada laporan terbukanya. Patut dicurigai ada apa-apa," kata Ibrahim saat dihubungi Republika, Sabtu (8/5).
Kemudian, potensi kedua praktik korupsi juga bisa datang dari penyiasatan anggaran. Menurut Ibrahim, sejauh ini DPR mengajukan bahwa anggaran pembangunan nantinya dimasukkan dalam APBN. Sementara, DPR sebenarnya sudah memiliki anggaran renovasi yang juga tak kecil. Tumpang tindih anggaran ini bisa disiasati untuk kepentingan-kepentingan jahat.
Setelah itu masih ada juga peluang ketiga, yakni saat DPR akhirnya nanti menggelar tender untuk proyek ini. Proyek yang nilainya bisa mencapai triliunan ini, kata Ibrahim, tentunya akan membuat berbagai pihak berebutan untuk ikut serta. Di sini bisa ada praktik suap oleh para kontraktor. Parah-parahnya, anggota DPR juga bisa melakukan tender sepihak. Keempat, peluang itu ada di tahap implementasi. Mark up harga barang bisa terjadi di sini.