REPUBLIKA.CO.ID,ALMERE--Latifa Ennahachi adalah seorang muslimah asal Maroko, tinggal di Almere, Belanda. Namun ia lebih merasa sebagai seorang muslimah ketimbang sebagai seorang Maroko. Perempuan berjilbab ini membedakan antara identitas Maroko dan muslim.
Latifa bilang,"Bedanya, sebagai seorang muslimah, kita berbuat sesuai dengan ajaran AlQuran. Menjalankan ajaran dan kewajiban Islam seperti mengenakan jilbab, berpuasa dan menjalankan nilai dan norma Islam terhadap orang lain. Sementara tabu itu budaya."
Sebagai contoh adat Maroko adalah larangan bagi seorang perempuan berbicara dengan lelaki. "Menurut adat ini adalah skandal, " tandas Latifa.
Menurut muslimah ini tidak ada larangan berjumpa antara lelaki dan perempuan. Islam membolehkan kedua jenis yang berbeda itu berkomunikasi dan berdiskusi. Itu adalah salah satu hak seorang muslimah, tandasnya.
Informasi tentang Islam
Latifa sangat giat di kelompok perempuan multikutural di Almere. Para perempuan yang terdiri dari berbagai bangsa ini berjumpa sebulan sekali untuk menyulam bersama. Sambil menyulam mereka juga membicarakan hal-hal yang serius seperti pendidikan, diskriminasi dan politik. Bagi Latifa pertemuan ini sangat berguna untuk memberi informasi yang tepat tentang Islam dan muslim.
Latifa menuturkan,"Kalau mereka ada pertanyaan - dan sekarang mereka sudah kenal saya - mereka gampang ajukan pertanyaan itu ke saya. Selain itu saya sering mampir ke rumah mereka dan mereka juga sering mengunjungi rumah saya."
Pertanyaan-pertanyaan mereka, lanjut Latifa, antara lain soal kewajiban mengenakan jilbab. Di samping itu mereka juga sering bertanya tentang lelaki Maroko. Menurut kacamata orang Belanda awam, Islamlah yang menyebabkan lelaki Maroko menindas para perempuan. Perempuan hanya boleh berjalan di belakang lelaki, misalnya.
Ini semua bukan ajaran Islam, tandas Latifa. Ia mengatakan, perempuan ibarat hiasan bagi lelaki dan begitu juga sebaliknya. "Ia bisa memakai hiasan itu kapan saja. Tapi ia juga harus berusaha agar hiasan itu tidak kekurangan apa-apa. Mencintainya dan menghargainya," katanya.
Belakangan kehidupan warga muslim di Eropa dan juga di Belanda sepertinya makin sulit. Banyak orang Belanda dan terutama para politisi yang mulai bosan atas kehadiran umat Islam, terutama kelompok ekstremis muslim.
Latifa memang merasa demikian. Tiap kali kalau ada seorang muslim melakukan sesuatu yang negatif, umat Islam harus berusaha menunjukkan bahwa Islam tidaklah demikian. Islam tidak mengajarkan kekerasan dan bukan agama teroris atau pembunuh, tandas Latifa.
Di Almere PVV, partai anti Islam pimpinan Geert Wilders, menjadi partai terbesar sesuai hasil pilkada yang lalu. "Saya tidak peduli dengan itu, " katanya.
"Saya melihat banyak hal lain di sekeliling saya. Saya melihat bukan hanya PVV saja yang ada. Bukan hanya Wilders saja yang ada. Banyak orang Belanda lebih baik dari Wilders. Wilders mimpi."
Walhasil perempuan asal Maroko ini melihat masih banyak hal-hal positif di Belanda. Untuk itu, katanya, kita harus bekerjasama. Jangan terpengaruh oleh seorang penyebar kebencian seperti Geert Wilders.